JAKARTA – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendorong kewenangan dalam RUU penyiaran nantinya bisa masuk ke ranah penyiaran digital atau media baru.
Harapan itu didasari pada konteks keprihatinan pada masifnya tayangan-tayangan di platform digital yang seolah tidak tersentuh dari screening pemerintah sebagai pemegang regulasi.
Sajian tayangan di platform digital banyak menyajikan sensualitas, sarkasme, sadis dan hoax yang sering juga dikonsumsi masyarakat belia dan menjadi perhatian KPI.
Tulus Santoso, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat menyatakan, negara harus masuk mengawasi tayangan-tayangan di platform digital tersebut.
“Ada yang juga harus mengawasi media baru platform digital seperti itu,” jelasnya pada seminar nasional bertajuk ‘Reposisi Media Baru dalam Diskursus Revisi Undang-undang Penyiaran yang berlangsung di Jakarta, Selasa (2/4/24).
“Tapi, KPI melihat ketika kita ingin melindungi masyarakat terkait frekwensi publik, kita ingin melindungi anak-anak dan remaja dari tayangan tidak berkualitas dan yang bisa memberikan dampak negatif,” jelasnya lagi.
Dalam hadirnya media baru Tulus juga melihat ketidak berimbangannya dari sisi bisnis antara platform digital dengan media konvensional.
Dimana iklan rokok, alkohol yang dibatasi di media konvensional namun bebas hadir tayang di media digital dan cenderung bebas
” Jadi aspek pengaturan kontennya menjadi jelas dan ada keuntungan di media baru. Iklan misalnya, iklan tuh tidak diatur dengan ketat,” tuturnya.
“Iklan rokok, iklan alkohol bisa muncul dimana saja dan jam berapapun bisa. Ini akhirnya menimbulkan bisnis enggak seimbang antara media konvensional dengan media baru,” tambahnya.
Sementara itu, Dewan Penasehat Aliansi Jurnalis Video (AJV) Nugroho F Yudho melihat serupa dan mendesak negara harus memiliki peran besar dalam mengendalikan tayangan di Media Baru untuk perbaikan generasi muda nantinya.