Fenomena penjilat dalam politik dan kekuasaan di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak zaman kerajaan hingga masa demokrasi modern, praktik menjilat telah menjadi salah satu cara yang sering digunakan oleh preman-preman politik untuk mempertahankan posisi atau memperoleh jabatan.
Penjilat adalah orang-orang yang mencari muka dengan cara menjilat, menyanjung, atau memuji penguasa secara berlebihan dan tidak tulus demi kemewahan dunia.
Mereka cenderung menempatkan diri sebagai loyalis penguasa, tanpa mempertimbangkan apakah kebijakan yang diambil sudah tepat atau tidak, berpihak pada rakyat ataukah pada oligarki.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penjilat diartikan sebagai orang yang suka berbuat sesuatu untuk mencari muka supaya mendapat pujian.
Perilaku ini seringkali melibatkan kemunafikan dan kelicikan, karena ambisius dan oportunis.
Mereka berusaha mengambil hati atasan dengan berbagai cara, bahkan dengan ikhlas mengorbankan harga diri dan kebenaran demi keuntungan sesaat.
Dalam konteks politik, penjilat sering kali memosisikan dirinya sebagai relawan politik yang tidak memiliki integritas dan kapabilitas yang kuat.
Mereka cenderung bertindak sebagai pendukung yang setia tanpa kritik, dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi atau pengakuan dari penguasa.
Prilaku penjilat tidak segan menggiring opini bernuansa religius. Belum lama berselang, muncul spesies penjilat yang berusaha menjilat presiden Prabowo.
Merespon analogi Prabowo tentang “tongkat Nabi Sulaiman” untuk menggambarkan sulitnya mewujudkan program MBG (Makan Bergizi Gratis).
“Saya tidak bilang ini bisa selesai dalam satu minggu, dua minggu, atau tiga bulan. Kita tidak punya tongkat Nabi Sulaiman,” ujarnya.
Lalu beredar ujaran, “Kebijakan Prabowo mirip Nabi Sulaeman. Saya yakin Prabowo masuk surga tanpa hisab.”
Dimasa Kabinet Indonesia Maju, beredar ucapan penjilat yang menyamakan Presiden Jokowi sebagai personifikasi Khalifah Umar bin Khathab.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, ketika badai dugaan Ijazah Palsu melanda dirinya, malah oleh para penjilat menyebut “Jokowi memenuhi syarat sebagai nabi, karena selalu Puasa Daud”.
Kriteria penjilat, menurut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra adalah: “Memuji lebih dari yang seharusnya adalah penjilatan.”
Berkata sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang kondisi orang yang gemar menjilat: “Sesungguhnya ada lelaki yang keluar dari rumahnya dan masih memiliki agama, kemudian dia bertemu seseorang yang dia punya keperluan dengannya. Lelaki ini pun berkata, ‘Sesungguhnya engkau itu begini dan begitu’, lelaki ini memuji orang tersebut sambil berharap agar mau menolong keperluannya. Maka Allah pun murka kepada lelaki itu, dia pun kembali ke rumahnya dalam keadaan tidak memiliki agama.” (HR Imam Ahmad dalam al ‘Ilal dan Imam Hakim dalam al Mustadrak).
Sayangnya, dalam sistem demokrasi, keberadaan penjilat seringkali ditolerir karena prinsip-prinsip demokrasi yang menekankan kebebasan berbicara dan berpendapat.
Namun, dalam praktiknya, penjilat menyalahgunakan kebebasan ini demi kemewahan finansial maupun popularitas semu.
Dalam setiap babakan sejarah, keberadaan spesies penjilat sangat berbahaya, karena mereka tidak memiliki independensi dan pengecut.
Dia tidak punya keberanian bernahyu mungkar, mengkritik kebijakan yang tidak tepat atau tidak adil.
Ucapan dan tindakan para penjilat sengaja mendistorsi perspektif penguasa, sehingga terisolasi dari kebenaran dan tidak mendapatkan pandangan yang jujur dan realistis tentang aturan maupun kebijakan yang diterapkan di masyarakat.
Mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong (2015-2016) bicara tentang ancaman dan tantangan besar yang dihadapi sebuah bangsa, yaitu merebaknya budaya penjilat di lingkaran kekuasaan.
Pada podcast kanal YouTube @Abraham Samad SPEAK UP, Sabtu, 24 Februari 2024, Tom Lembong mengatakan: “Ancaman terbesar bagi negeri kita ini bukan negara lain, bukan virus, bukan pandemi, bukan bom nuklir, tapi Penjilat. Karena penjilat itu menjerumuskan pimpinan-pimpinan kita kearah yang salah,” ujarnya.
Penjilat Seperti Anjing
Islam melarang keras perilaku penjilat yang hanya mencari muka dengan memuji-muji penguasa secara berlebihan dan tidak tulus.
Dalam Al-Qur’an, Munafik dan penjilat dianalogikan seperti Anjing yang menjulurkan lidahnya.
Allah SWT berfirman :
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهٗٓ اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوٰىهُۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ ذٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan jika Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya yang rendah, maka perumpamaannya seperti Anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya.” (QS. Al-A’raf [7]: 176)
Analogi Anjing yang menjulurkan lidah, menggambarkan betapa rendah dan menjijikkannya prilaku menjilat.
Dalam syariat Islam, penjilat yang suka memuji-muji penguasa secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kebenaran dan keadilan, dilarang. Islam menekankan pentingnya kejujuran, keadilan, dan integritas dalam berbicara dan berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan penguasa.
Mengapa seseorang memilih jadi penjilat sekalipun menjatuhkan martabat dan harga dirinya ? Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib berkata:
“Manusia mudah berubah dalam tiga kondisi, yaitu ketika dekat dengan penguasa dan pengusaha, ketika memegang jabatan, dan ketika kaya mendadak setelah sebelumnya miskin. Jika ada orang yang tidak berubah dalam 3 kondisi tersebut, tanpa mengubah sifat dan perilaku mereka menjadi tidak baik, tanda dia memiliki akal sehat dan berakhlak mulia,” katanya.
Dilindungi Penguasa Zalim
Keberadaan penjilat seringkali dilindungi oleh penguasa zalim dengan memberi jabatan di pemerintahan. Ada yang jadi Menteri atau Wakil Menteri, Komisaris BUMN, anggota Staf Kepresidenan (KSP) dan jabatan lain sebagai balas jasa.
Penguasa zalim menyukai penjilat karena mereka dapat membantu memoles citra kekuasaan yang zalim seolah-oleh peduli pada nasib rakyat, kadang dilakukan melalui opini maupun tipuan bertopeng survei.
Penguasa orba, Presiden Suharto, bisa mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun, salah satunya karena suara manis penjilat yang memujinya sebagai Bapak Pembangunan, santun, dan mencintai rakyatnya.
Presiden Jokowi bisa bertahan 2 periode, bahkan diusulkan jadi 3 periode, meskipun rakyat menggelarinya sebagai Raja Bohong, The King of Lip Service.
Belajar dari kisah Fir’aun, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an, adalah Raja yang zalim. Pemerintahan yang dijalankannya bukan berdasarkan keadilan dan akhlak yang mulia, tetapi berdasarkan ambisi dan hawa nafsu.
Politik yang dijalankannya adalah politik adu domba, memecah belah rakyat, dan menanamkan benih permusuhan, sehingga rakyatnya mudah dipengaruhi dan dibodohi agar menaatinya tanpa mempertanyakan kebijakan-kebijakannya yang zalim.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan tentang Sistem Pemerintahan Fir’aun,
اِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِى الْاَرْضِ وَجَعَلَ اَهْلَهَا شِيَعًا يَّسْتَضْعِفُ طَاۤىِٕفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ اَبْنَاۤءَهُمْ وَيَسْتَحْيٖ نِسَاۤءَهُمْ ۗاِنَّهٗ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ
“Fir’aun telah berlaku sangat zalim di negerinya. Dia telah menjadikan rakyatnya terpecah-belah saling bermusuhan. Fir’aun menindas sebagian rakyatnya, menyembelih anak-anak laki-laki mereka, dan membiarkan perempuan-perempuan mereka hidup terhina. Sungguh dia termasuk orang-orang yang melakukan kerusakan di negerinya.” (QS. Al-Qashash [28]: 4)
Dukungan rakyat terhadap Fir’aun ataupun penguasa semacamnya, karena mayoritas rakyatnya orang-orang bodoh dan fasik. Allah SWT berfirman:
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهٗ فَاَطَاعُوْهُ ۗاِنَّهُمْ كَانُوْا قَوْمًا فٰسِقِيْنَ
“Fir’aun telah menjadikan rakyat negeri Mesir bodoh. Karena itu rakyat negeri Mesir mau taat kepadanya. Sungguh Fir’aun dan pembesarnya adalah kaum yang menentang agama Allah.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 54)
Akhirnya, ketika Fir’aun dan pembesarnya menyulut kemurkaan Allah SWT dengan perbuatan maksiat dan zalim, Allah SWT mengazab mereka dengan menenggelamkan mereka di Laut Merah.
فَلَمَّآ اٰسَفُوْنَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَاَغْرَقْنٰهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ
“Ketika Fir’aun dan pembesarnya membuat marah Kami, Kami turunkan adzab Kami kepada mereka. Karena itu, Kami tenggelamkan Firaun dan tentaranya di Laut Merah.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 55)
Program Sosial Gaya Firaun
Kisah Firaun menjadi pelajaran berharga tentang bahaya dari kekuasaan yang zalim dan pentingnya memiliki pengetahuan dan kesadaran akan hak-hak serta kewajiban sebagai rakyat. Kehancuran Firaun dan tentaranya menjadi pelajaran dan contoh buruk bagi generasi-generasi berikutnya.
Namun, ada yang menarik pada sistem pemerintahan Firaun. Sekalipun jahat, bengis dan licik, termasuk mengangkat dirinya sebagai tuhan, Firaun selalu mendapat dukungan rakyat sehingga dapat mempertahankan kekuasaannya.
Mengapa rakyat mendukung Firaun, penguasa jahat dan zalim ?
Diriwayatkan dalam Tarikh al-Anbiya’ bahwa Nabi Musa a.s. berdo’a supaya memakzulkan Firaun: “Wahai Tuhanku, binasakanlah Firaun.” Allah SWT menjawab do’anya dan berfirman: “Aku akan membinasakannya melalui air pada suatu hari, lalu Aku jadikan harta dan tentaranya sebagai rezeki untukmu dan kaummu.”
Beberapa tahun berlalu setelah janji itu, Firaun masih tetap berkuasa, menjalani hari-harinya dengan kebesaran, kemegahan, dan sombong.
Nabi Musa berpuasa selama empat puluh hari, lalu menuju gunung Thur dan bermunajat, menagih janji dari Allah: “Wahai Tuhanku, Engkau telah berjanji akan membinasakan Firaun. Namun ternyata ia tidak juga berkurang sedikit pun dari kesombongan dan kekufurannya. Kapan Engkau akan menimpakan kebinasaan itu kepadanya ?”
Namun, Allah SWT memberikan jawaban yang mengejutkan. Allah SWT menyatakan bahwa Firaun memiliki kebiasaan yang baik, gemar membagi makanan dan mudah menutupi kekurangan orang lain, sehingga Allah menunda siksa untuknya.
يَا مُوسَى إِنَّكَ تُرِيدُنِي أَنْ أُهْلِكَ فِرْعَوْنَ فِي أَقْرَبِ وَقْتٍ، فِي حِينٍ أَنَّ مِائَةَ مِائَةِ أَلْفٍ مِنْ عِبَادِي لَا يُرِيدُونَ ذَلِكَ، لِأَنَّهُمْ يَأْكُلُونَ مِنْ نِعَمِهِ يَوْمِيًّا، وَيَنْعَمُونَ بِالرَّاحَةِ فِي عَهْدِهِ. وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أُهْلِكُهُ مَا أَسْبَغَ عَلَى النَّاسِ نِعْمَتَهُ.
“Wahai Musa engkau menginginkan Aku membinasakan Firaun dalam waktu dekat, padahal sekarang ini ada 100 juta manusia tidak menginginkan hal itu. Karena mereka bisa makan dari pemberiannya setiap hari dan mereka juga menikmatinya. Wahai yang bernaung di bawah kasih sayang-Ku, Aku bersumpah demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, Aku tidak akan menghancurkan seseorang yang memberi rasa kenyang kepada orang lain dengan pemberiannya.”
Setiap hari Firaun mengadakan jamuan makan, terdiri atas 4.000 ekor kambing, 400 ekor sapi, dan 200 ekor unta, disertai dengan ayam, ikan, makanan lezat, masakan goreng, kue-kue, dan hidangan lainnya. Seluruh penduduk Mesir beserta tentaranya makan dari jamuan tersebut.
Hingga akhirnya Musa berkata: “Jika demikian, wahai Tuhanku, kapan Engkau akan menunaikan janji-Mu?” Allah berfirman: “Aku akan menunaikan janji-Ku ketika ia berhenti memberi makan manusia. Jika engkau melihatnya mulai mengurangi jamuannya, ketahuilah bahwa ajalnya sudah semakin dekat.”
Kemudian, pada suatu hari Firaun berkata kepada Haman: “Musa telah mengumpulkan Bani Israil di sekelilingnya dan ia berusaha menyakiti kita. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya urusan dia bersama kita ini. Kita harus memenuhi kembali gudang-gudang kita agar jangan sampai kita kekurangan harta selamanya, dan kita perlu mengurangi pengeluaran harian hingga setengahnya. Jumlah hewan sembelihan harus dikurangi menjadi seribu kambing, dua ratus sapi, dan seratus unta demi tujuan menabung.”
(Sumber: Siyar al-Mulūk, karya: Niẓām al-Mulk, Penerbit: Dār al-Thaqāfah, Doha, cet. ke-2, 1407 H/1987 M, hlm. 169–170.)
Dalam kasus Firaun, meskipun dia memiliki sifat yang kejam, zalim, namun dia tetap didukung dan disukai oleh banyak orang karena kedermawanannya, suka memberi makan dan membantu rakyatnya melalui program sosial.
Riwayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT tidak akan menghancurkan pemimpin yang memberi rasa kenyang kepada rakyatnya. Masyarakat cenderung menyukai pemimpin yang dermawan, memiliki kepedulian sosial, memberi makan serta bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
Hal ini membawa dampak positif untuk mempertahankan kekuasaannya, sekalipun dia dikenal jahat, koruptor, dan pembohong.
Dizaman modern, banyak juga penguasa zalim yang mewarisi model kepemimpinan Firaun, dengan menggunakan bantuan sosial, seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), MBG (Makan Bergizi Gratis) dan bantuan sosial lainnya, sebagai fasilitas yang efektif untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Dengan memberikan Bansos, penguasa zalim hendak menciptakan ketergantungan rakyat terhadap dirinya.
Hanya saja, bantuan sosial yang diberikan oleh penguasa zalim, seringkali memiliki motif palsu dan tidak tulus.
Bukan mustahil mereka menggunakan program sosial, dengan menggelontorkan dana APBN untuk mempertahankan kekuasaan, meningkatkan popularitas, atau mengalihkan perhatian dari kebijakan yang tidak adil.
Oleh karena itu, rakyat harus tetap waspada dan kritis terhadap bantuan sosial yang diberikan penguasa zalim.
Penting untuk tidak melupakan bahwa kebaikan dan kepedulian tidak dapat menghapus kesalahan dan kezaliman.
Masyarakat hendaknya tetap kritis dan memperjuangkan hak-hak mereka, serta tidak melupakan bahwa kebaikan dan kepedulian sosial tidak serta merta dapat membenarkan kebohongan dan kezaliman.
Senantiasalah memohon kepada Allah SWT dengan do’a dan beramal shalih !.
Irfan S Awwas
Pengamat Politik Nasional
Redaktur: Abdul Halim