Jika dipinjam istilah kekinian yang lalu-lalang di media sosial, saya ingin katakan begini; mau ketawa, tapi takut dosa. Mau tersenyum, tapi takut orang tersinggung. Tapi, ah, sudahlah. Saya ketawa saja, mumpung belum ada fatwa haramnya.
Saya tak bisa menyembunyikan tawa sembari mencoba membayangkan bagaimana wajah lawan bicara Mas Aqua Dwipayana, yang tiba-tiba “mati kutu” ketika tahu bahwa Mas Aqua adalah sahabat seniornya yang sang diseganinya.
Maka permintaannya pada kalimat berikut; “Pak Aqua, mohon masukan dari bapak apa saja yang harus saya perbaiki terkait dengan komunikasi saya? Hal itu sangat saya butuhkan agar komunikasi saya jadi baik dan lancar saat bicara dengan semua orang termasuk para pasien.”
Bagi saya, kalimat tersebut sudah bisa dianalogikan sebagai seorang petinju yang melemparkan handuk ke atas ring!
Hahahahaha….
Maaf, saya terpaksa harus ketawa ketika membaca tulisan Mas Aqua yang berjudul, Awalnya “Menyerang”, Belakangan Menyadari Kekurangannya dan Minta Masukan.
Mengapa saya harus ketawa? Inilah fenomena kekinian. Salah satu fenomena tersebut, ternyata negeri ini, atau bumi ini terasa sangat kecil. Kecil sekali. Di mana kita berada, ke mana kita bergerak, tanpa kita sadari, ternyata berpeluang ada tali-temali dalam kehidupan kita dan orang-orang di sekitar kita.
Dokter spesialis yang duduk bersebelahan dengan Mas Aqua, dari Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta ke Bandara Adisutjipto Yogyakarta, mungkin pada mulanya menduga, dirinya berada di atas karena merasa statusnya berada di level teratas, lalu memandang remeh orang-orang di sekitarnya.
Hopp, tunggu dulu. Ternyata pasti terhenyak ketika tahu seniornya justru sahabat dekat orang yang dianggapnya bukan siapa-siapa.
Jika berkaca dari kisah ini, saya teringat peristiwa puluhan tahun silam. Ketika itu, saya naik bus kota dari Pasar Raya ke rumah di kawasan Lubuk Begalung Padang, Sumatera Barat. Mulanya saya sudah dapat tempat duduk.
Ketika bus kota penuh dan berangkat, seorang perempuan naik. Banyak tentengannya. Ia tak dapat tempat duduk. Spontan saya langsung berdiri dan memberikan tempat saya padanya. Belum mengucapkan terima kasih.
Sekitar 10 menit perjalanan, penumpang di sebelahnya turun. Kursi tersebut kosong. Ia menggeser posisinya, sehingga tempat yang diduduki semula dipersilakan pada saya. Saya duduk di sana. Beliau kemudian bertanya, di mana saya turun. Saya jawab apa adanya. Komunikasi pun terjadi.
Beliau menanyakan di mana sekolah anak saya. Saya jawab. Beliau terkejut. Rupanya, anaknya juga sekolah di sana. Ia sebutkan nama anaknya. Langsung saya jelaskan ciri-cirinya karena saya memang mengenal nama yang disebutnya.
Bagaimana kalau, ketika itu saya tak memberikan tempat kepada beliau, lalu beberapa hari bertemu beliau bersama anaknya, mau ke mana muka ini disurukkan?
Dua hari kemudian, di sekolah, saya bertemu anaknya, kendati kami beda angkatan. Sejak itu, komunikasi dan silaturahim terus berlangsung. Alhamdulillah, sampai saat ini. Begitulah. Kecilnya negeri ini.
Komunikasi Dokter Hebat
Dokter memang salah satu profesi dan ladang pengabdian terbaik. Tapi, salah satu. Banyak lagi profesi dan ladang pengabdian terbaik.
Profesi dan ladang pengabdian terbaik tersebut, rasanya akan cacat jika mereka yang mengabdikan diri di profesi tersebut tidak memiliki komunikasi yang baik dengan lingkungannya. Apa jadinya jika seorang tenaga kesehatan cemberut saja pada pasiennya?
Saat pasien datang pada tenaga kesehatan, mendapati senyumnya saja seakan menghadirkan sugesti kesembuhan berlipat ganda bagi pasien. Setidaknya, hal tersebut pernah saya rasakan, ketika membawa putra-putri saya ke dokter keluarga kami.
Sang dokter berstatus sebagai dokter spesialis anak. Namanya, dr. Dani Andesta, Sp.A. Ia sudah kami datangi sejak putri pertama saya, Zhilan Zhalila berusia kurang dari dua tahun. Ketika adiknya lahir, jika sakit juga kami bawa ke sana.
Kini, keduanya sudah remaja. Eh, kalau sakit, mereka minta berobat ke dokternya tersebut. Kadang, sampai di sana, sang dokter dengan gayanya santai dan bercanda dengan keduanya. Saya juga pernah berobat di sana. Hahahaha…. Pasiennya, mantan anak-anak yang sudah punya anak.
Ada lagi dokter langganan saya dan keluarga besar. Kini, secara kedinasan, beliau sudah pensiun. Orang tua saya sudah berobat kepadanya, sejak ia masih menjadi dokter yang sangat muda. Ketika itu, baru jadi dokter umum. Kemudian mengambil spesialisasi penyakit dalam. Kini, beliau sudah profesor di bidang penyakit dalam.
Kini beliau hanya praktik di rumah saja. Sejak dulu, sejauh yang saya tahu, beliau lebih banyak praktik di rumahnya, yang sekaligus kampung halamannya. Orang-orang di lingkungannya tahu, jika sakit dan tak mampu, jangan pernah takut datang kepadanya. Insya allah, beliau akan memberikan kemudahan.
Di tahun 2008, ibunda saya drop. Kondisi sangat lemah. Saya beradik kakak berinisiatif untuk membawa beliau ke rumah sakit. Tapi beliau tak mau. Katanya, biarlah dirawat di rumah saja. Setiap rencana membawa ke rumah sakit, selalu gagal. Apalagi selama ini, beliau tak pernah dirawat di rumah sakit.
Di saat kami hampir kehilangan akal, tiba-tiba ibunda bilang, jika dokter langganan kami tersebut yang merawat, beliau baru mau ke rumah sakit. Kami pun menghubungi dokter tersebut, Prof dr Zulkarnain Arsyad. lalu mengatakan kepada beliau apa yang terjadi.
Akhirnya, kami menyerahkan selular kepada ibunda. Beliau dapat komunikasi dengan sang dokter. Beliau langsung menjawab, oke. Kami pun membawa beliau ke rumah sakit.
Keesokan harinya, sang dokter berkunjung. Ibunda terlihat senang dan tambah semangat. Tapi selama di rumah sakit, perawatan bukan oleh dokter tersebut. Tapi oleh tim lain. Kendati demikian, beliau selalu meluangkan waktunya untuk membezuk.
Om Zul –demikian kami bisa menyapa Prof dr Zulkarnain Arsyad– juga memberikan sugesti dan obat bawaan pribadi saya saat umrah, Januari 2020. Ketika itu, dua hari sebelum berangkat menuju Madinah, saya demam tinggi. Saya merasakan tubuh menggigil seperti orang kedinginan, namun keluarga saya merasakan hawa panas.
Sebetulnya, di Padang, ada sejumlah dokter lain yang saya kenal, orangnya baik-baik dan ramah. Komunikasinya juga oke.
Ada dua yang agak spesifik. Keduanya masih muda. Seorang pernah menjadi pentolan demo saat kuliah di fakultas kedokteran, kini menjadi dokter dan pimpinan RSUD Lubuk Sikaping, dr Yong Marzuhaili.
Kalau pun tak sempat bertemu, komunikasi dan bercanda dari WA masih jalan. Seorang lagi, dr Rika Amran, sehari-hari di RS Siti Rahmah – Padang, juga baik hati dan tidak sombong.
Firdaus Abie
Direktur Harian Rakyat Sumbar