SIAPA yang suka menonton drama Crash Landing On You, Start Up, Boys Before Flower, dan Penthouse? Wah sepertinya semuanya nonton, nih! Kalau BTS, EXO, dan Blackpink saya tebak kalian sudah tahu banget kan? Bagimana tidak, nama mereka selalu disebutkan di berbagai media dunia. Bagi kalian yang suka terhadap K-Pop atau K-Drama, wah, selamat kalian terkena virus Korea! Virus Korea ini biasa disebut dengan fenomena K-Wave. Arti K-Wave menurut Kedutaan Besar Republik Korea untuk Republik Indonesia adalah istilah yang kini merujuk pada popularitas hiburan dan budaya Korea di Asia dan daerah lain di dunia.
Pada tahun 2020 bahkan penggemar K-Pop terbesar ada di Indonesia dan penyebarannya melalui media sosial yang dilakukan begitu kuat. Saya tebak kalau teman-teman membuka aplikasi TikTok pasti ada saja konten Korea muncul, kan? Belum lagi di Instagram juga saya yakin kalian sering menemukan foto atau pembahasan tentang K-Pop atau K-Drama. Lalu, kalau seperti ini apakah fenomena K-Wave merupakan sebuah ancaman atau peluang bagi industri hiburan Indonesia?
Setelah banyaknya masyarakat Indonesia yang gemar menonton acara atau film luar negeri, terutama film Korea atau K-Drama membuat minat terhadap acara televisi menurun, terutama oleh anak muda. Saat ini, saya merasa sinetron Indonesia masih tetap digemari oleh masyarakat Indonesia seperti Ikatan Cinta dan Badai Pasti Berlalu. Hal tersebut membuktikan bahwa sinetron Indonesia masih mendapat tanggapan baik dari masyarakat Indonesia. Begitu pula dengan series online Indonesia yang setiap episodenya selalu ditunggu-tunggu, alur ceritanya yang menarik dan juga sinematografi yang bagus.
“Mirip drama Korea!”, ujar salah satu pengguna Twitter.
Berbeda dengan sinetron dan series online, saya merasa acara hiburan di Indonesia justru mendapat kritikan pedas dari generasi millenial dan generasi Z. Mereka menganggap acara hiburan di Indonesia tidak informatif, mendidik, dan menghibur. Acaranya tayang seperti itu karena selalu mengundang artis yang selalu mencari sensasi agar dapat tampil di televisi yang cenderung tayang sebagai acara gosip. Semakin artisnya menciptakan sensasi panas, semakin banyak pula tawarannya untuk tampil di acara televisi. Akibatnya, banyak sekali generasi millenial dan generasi Z yang pindah haluan untuk mencari hiburan dari acara negara lain, salah satunya dari Korea Selatan. Wah, sangat disayangkan, bukan?
Acara yang paling familiar didengar oleh masyarakat Indonesia adalah Running Man. Running Man adalah sebuah acara varietas yang berasal dari Korea Selatan. Menurut saya, Running Man merupakan salah satu acara dengan paket lengkap. Running Man ini acara hiburan dan digunakan juga sebagai ajang promosi artis yang dikemas dengan permainan dan lelucon yang mengocok perut.
Anggotanya saling menghargai satu sama lain dan juga bintang tamu membuat acara ini nyaman untuk ditonton karena terbebas dari sensasi. Adanya perbedaan ini membuat saya membandingkan keduanya dan berharap agar beberapa acara Indonesia yang penuh sensasi dapat dikurangi dan berkembang lebih baik lagi di masa depan dengan memperhatikan aspek-aspek yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.
Selain acara televisi, acara musik tampaknya juga dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Banyaknya penggemar K-Pop di Indonesia membuat mereka, juga saya, mulai membandingkan acara musik di Korea Selatan dan di Indonesia. Penggemar K-Pop tentu senang jika di Indonesia mempunyai acara musik yang murni menampilkan performance musik. Korea Selatan memiliki lima acara musik di berbagai stasiun televisi yang membuat saya iri karena di Indonesia tidak ada acara seperti itu saat ini. Di Indonesia sendiri, dahulu ada Inbox dan Dahsyat yang benar-benar tayang sebagai acara musik yang bebas sensasi.
Namun, menurut saya pada akhir-akhir penayangannya justru acara musik tersebut dibumbui dengan sensasi yang membuat penikmat musik jengah. Saat ini, Dahsyat kembali tayang di Indonesia, namun tetap dibumbui hal-hal yang cenderung menuju pada acara varietas dan tentunya sensasi. Sungguh berbeda bukan? Acara musik, namun seperti acara varietas. Namun, saya paham bahwa hal tersebut pasti sudah disesuaikan juga dengan minat masyarakat Indonesia. Yah, saya cukup menyayangkan dan kembali membandingkannya dengan acara musik Korea Selatan yang murni mempromosikan musisinya dan hanya menayangkan musik.
Kemudian, dengan banyaknya penggemar K-Pop di Indonesia ternyata membuat salah satu perusahaan hiburan Korea melakukan ekspansi pasar dengan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasarnya dan membuka kantor cabang di daerah Jakarta Pusat. Perusahaan hiburan tersebut adalah SM Entertainment. Pada tahun 2019, SM Entertainment menjalin kerja sama dengan PT Trans Media Corpora dengan harapan mereka dapat mendukung pengembangan industri Indonesian Pop (I-Pop) dalam rangka mempromosikan kekayaan budaya Indonesia ke pentas dunia. Tentu dengan adanya kerja sama ini merupakan sebuah peluang bagus dan diharapkan akan ada revolusi terhadap industri hiburan Indonesia. Kita, Indonesia, dapat belajar melalui kerja sama ini.
Lalu, apakah fenomena K-Wave menjadi peluang atau ancaman bagi industri hiburan Indonesia? Menurut saya, semua ini tergantung cara masyarakat serta pelaku industri hiburan menerima dan memperlakukan fenomena K-Wave di Indonesia. Pada sekitar tahun 2011 Indonesia memiliki boygrup dan girlgrup yang berkaca pada K-Pop dan membuat dunia permusikan Indonesia berjaya saat itu, seperti Cherrybelle, SMASH, XOIX, Princess, SuperGirlies, 7Icons, dan Dragon Boys. Hal tersebut kembali terulang di tahun 2020-2021. Mereka terbentuk dari perusahaan atau agensi hiburan yang menurut saya hal tersebut lebih tertata dan efektif dalam promosi, manajemen, dan lainnya. Seperti boygrup dan girlgrup yang naik daun saat ini adalah UNITY, StarBe, Glass, dan BForce. Belum lagi, euforianya masih sama seperti tahun 2011 lalu.
Selain boygrup dan girlgrup, masih banyak musisi lain yang menurut saya mendapat dukungan baik dari masyarakat Indonesia seperti Lyodra, Ardhito Pramono, Marion Jola, dan Rizky Febian. Seharusnya dengan adanya bakat menabjubkan musisi kita ini membuat pelaku permusikkan di Indonesia menemukan peluang untuk meningkatkan permusikkan di Indonesia dengan melihat cara perusahaan hiburan Korea melakukan branding. Branding yang mereka lakukan antara lain adalah melalui acara promosi televisi, konten menarik, dan tentunya melalui sosial media. Saya merasa saat ini penyanyi Indonesia cenderung seperti harta karun yang berharga namun tersembunyi.
Kemudian, dari segi drama dan acara televisi tentu Indonesia dapat mempelajari dari K-Wave sekiranya hal-hal apa yang membuat masyarakat betah menonton acara televisi mengingat saat ini masyarakat Indonesia jarang menggunakan televisi untuk mencari hiburan. Dapat diteiliti hal-hal yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat Indonesia untuk mencari hiburan. Saat ini series online dan film Indonesia sudah sangat berkembang jauh dibandingkan sebelumnya dengan menyesuaikan alur yang diinginkan masyarakat.
Namun, menurut saya fenomena K-Wave ini dapat menjadi ancaman bagi industri hiburan Indonesia jika masyarakat Indonesia sudah benar-benar menutup mata terhadap industri hiburan Indonesia dan menerima K-Wave masuk ke Indonesia secara mentah-mentah. Jika masyarakat Indonesia sudah menuup mata, maka industri hiburan Indonesia sudah dalam masalah besar. Kemudian, jika masuknya K-Wave tidak disaring terlebih dahulu, maka bisa saja budaya asli Indonesia bisa tersingkirkan oleh maraknya budaya Korea. Tentu, hal ini menjadi tantangan bagi pelaku industri hiburan juga kebijakan penggemar jika ingin mengadaptasi ide K-Wave perlu juga menyesuaikannya dengan budaya Indonesia. Selain itu, pelaku industri hiburan perlu memikirkan strategi yang tepat agar industri hiburan Indonesia akan selalu familiar di telinga masyarakat Indonesia, bukan K-Wave.
Maka dari itu, untuk mencapai kejayaan pada industri hiburan Indonesia perlu campur tangan dari seluruh pihak, yaitu masyarakat, pelaku industri hiburan, dan pemerintah. Pihak-pihak ini perlu saling bahu-membahu mengembangkan industri hiburan Indonesia dengan cara terus mendukung dan mempromosikannya secara alami dari mendukung setiap karya Indonesia. Bagi mereka pelaku industri hiburan Indonesia perlu membuat gebrakan dan revolusi baru
(Aurellia Nazhiifa Pratisara – Mahasiswa S1 Digital Public Relations Universitas Telkom)