TIANG-tiang monorel yang terbengkalai di Jakarta merupakan sisa proyek transportasi yang gagal sejak awal 2000-an. Sebagian besar struktur tersebut kini menjadi beban visual kota dan aset tidak produktif milik PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Pembongkaran akan menimbulkan biaya besar tanpa menghasilkan nilai tambah.
Tulisan ini menawarkan gagasan transformasi inovatif untuk menjadikan tiang monorel sebagai infrastruktur estetika dan ekonomi kota melalui pendekatan adaptive reuse, circular economy, dan urban regeneration.
Melalui konsep “Jakarta Skyline Walk & Pasar Angkasa”, tiap segmen tiang monorel diubah sesuai karakter kawasan menjadi jalur wisata, pasar rakyat modern, taman vertikal, dan ruang seni publik. Pendekatan ini bukan hanya menekan pemborosan aset, tetapi juga memperkuat citra Jakarta sebagai kota hijau dan kreatif.
Proyek monorel Jakarta yang sempat digagas pada awal tahun 2000-an berhenti di tengah jalan, menyisakan puluhan tiang beton di berbagai koridor kota: Kuningan, Setiabudi, Casablanca, Tanah Abang, dan Palmerah.
Tiang-tiang tersebut kini berstatus sebagai aset tetap PT Adhi Karya dengan nilai material signifikan, namun tidak produktif dan menimbulkan kesan “ruang mati” di tengah lanskap urban Jakarta.
Jika dilakukan pembongkaran total, biaya yang dibutuhkan diperkirakan mencapai lebih dari Rp 120 miliar, belum termasuk penanganan limbah beton dan rekonstruksi jalan di sekitarnya.
Sebaliknya, jika struktur tersebut direvitalisasi, ia berpotensi menjadi sumber nilai tambah estetika, ekonomi, dan sosial bagi kota dan warganya.
Kota-kota besar dunia seperti New York, Seoul, dan Chicago telah membuktikan keberhasilan mengubah infrastruktur gagal menjadi ikon baru melalui konsep adaptive reuse — misalnya High Line Park, Cheonggyecheon Stream, dan The 606 Trail.
Kajian Teoritis: Adaptive Reuse dan Circular Economy
Dalam paradigma pembangunan berkelanjutan, dua prinsip penting menjadi landasan inovasi ini:
Adaptive Reuse
Adalah strategi pemanfaatan ulang infrastruktur eksisting untuk fungsi baru tanpa mengubah struktur utama. Pendekatan ini menekan biaya, mengurangi limbah konstruksi, dan mempertahankan identitas kota.
Circular Economy
Merupakan konsep ekonomi yang menekankan daur ulang material dan energi untuk menciptakan nilai baru dari aset yang sebelumnya dianggap tidak berguna. Dalam konteks ini, tiang monorel menjadi “bahan mentah” bagi penciptaan ruang publik dan kegiatan ekonomi kreatif.
Dengan menggabungkan keduanya, proyek ini bukan sekadar penataan fisik, melainkan bagian dari revolusi cara berpikir perkotaan — dari demolish (membongkar) menjadi revitalize (menghidupkan kembali).
Gagasan Utama: Jakarta Skyline Walk & Pasar Angkasa
1. Konsep Umum
Transformasi ini mengusulkan pengembangan multi-fungsi dengan pendekatan kawasan.
Tiang monorel dimanfaatkan sebagai:
Skyline Walkway: jalur pejalan kaki dan sepeda di atas struktur beton eksisting, terbuat dari baja ringan dan kaca tempered.
Pasar Angkasa: area UMKM tematik di bawah tiang, menyediakan kios modern bagi pedagang kecil.
Vertical Garden & Art Light: dinding hijau dengan pencahayaan LED kinetik yang memperindah kota.
Sky Café & Observation Deck: dibeberapa titik strategis, menjadi tempat rekreasi dan wisata malam kota.
Dengan demikian, tiang yang sebelumnya menjadi “beban visual” kini berubah menjadi poros kegiatan sosial-ekonomi dan wisata urban.
Analisis Spasial: Desain Spesifik Berdasarkan Koridor
Koridor Lokasi Konsep Utama Fungsi & Ciri Khas :
A – Kuningan–Setiabudi Area perkantoran & diplomatik Vertical Garden & Art Spine Instalasi seni publik, taman vertikal, dan jalur pejalan kaki gantung,
B – Casablanca–Menteng Dalam Padat lalu lintas & komersial Pasar Angkasa Rakyat Pasar vertikal untuk UMKM dan kuliner rakyat.
C – Tanah Abang–Palmerah Kawasan perdagangan & permukiman Urban Market & Mural Way Galeri mural dan zona PKL legal.
D – Senayan–Gatot Subroto Kawasan olahraga & taman kota Skyline Jogging Loop Jalur lari dan sepeda di atas tiang, dengan kafe ringan dan galeri seni
Pendekatan berbeda di tiap koridor mencegah keseragaman desain, memperkuat identitas mikro tiap wilayah, dan memastikan partisipasi masyarakat lokal.
Nilai Tambah dan Dampak
1. Nilai Ekonomi
Pengalihan biaya pembongkaran menjadi investasi adaptif reuse dapat menghasilkan ROI 3–4 tahun.
Pendapatan tahunan dari sewa kios, event, dan iklan digital diproyeksikan Rp 30–50 Miliar.
Meningkatkan nilai properti disekitar koridor sebesar 10–20%.
2. Nilai Sosial dan Budaya.
Menyediakan ruang interaksi publik dan rekreasi warga
Memberikan ruang legal bagi PKL dan pelaku UMKM
Menumbuhkan kebanggaan lokal terhadap wajah baru Jakarta.
3. Nilai Estetika dan Lingkungan.
Mengurangi polusi visual dan panas kota
Meningkatkan ruang hijau vertikal di kawasan padat beton
Menjadikan lanskap malam kota lebih artistik dan ramah warga
Kesimpulan
Pemanfaatan tiang monorel Jakarta sebagai “Jakarta Skyline Walk & Pasar Angkasa” bukan sekadar proyek estetika, melainkan paradigma baru pembangunan kota berkelanjutan.
Langkah ini mampu:
Mengubah aset mangkrak menjadi produktif
Mendorong ekonomi rakyat dan wisata urban
Menjadikan Jakarta laboratorium inovasi tata kota Asia Tenggara
Kota yang maju bukan kota tanpa kegagalan, tetapi kota yang mampu mengubah kegagalan menjadi keindahan dan kebermanfaatan.
Rekomendasi Kebijakan
Moratorium pembongkaran seluruh tiang monorel hingga kajian revitalisasi selesai.
Kerjasama tripartit antara PT Adhi Karya, Pemprov DKI, dan komunitas arsitek-kreatif Jakarta.
Penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang “Pemanfaatan Struktur Nonaktif sebagai Ruang Ekonomi Kreatif Publik.”
Pembentukan Unit Khusus “Jakarta Urban Renewal Board” untuk mengawasi, merancang, dan mengembangkan konsep serupa di titik lain kota.
Penulis: Dr Ir Narmodo, Akademisi dan Pengamat Kebijakan Publik
Redaktur: Abdul Halim
