Kasus ijazah palsu menjadi bukti Polri berada di bawah kaki Jokowi. Ini merupakan kisah pilu dari sebuah negeri yang konon menjunjung tinggi nilai ideologi.
Jokowi dengan wajah lugu menjadi bos mafia pengendali Polisi.
Ketika ijazahnya dipertanyakan maka seolah Polisi menjawab dengan presisi “jangan ganggu bossku”.
Sungguh sebuah tragedi yang mengerikan.
Jokowi sudah bukan Presiden lagi tetapi Polisi masih terus mengabdi dan memproteksi.
Kapolri bagai tersandera dalam politik balas budi.
Bareskrim maupun Polda Metro Jaya terpaksa harus kehilangan profesionalisme dan independensi saat berhadapan dengan pengkaji dan pengkritisi.
Semua dilakukan demi membantu dan melindungi Jokowi.
Semestinya Jokowi yang harus menjadi Tersangka dan diadili. Orang yang diadukan masyarakat melalui TPUA atas dugaan pemalsuan dan penggunaan ijazah palsu itu adalah Jokowi.
Proses dulu hingga tuntas jika kelak terbukti maka dihukum dan jika tidak ya dibebaskan.
Begitu prosedur normal, sehat, dan konsisten. Ini baru namanya penegakan hukum.
Tapi permainan Polri pro Jokowi bertindak lain.
Pengaduan TPUA tanggal 9 Desember 2024 baru diproses pada tanggal 10 April 2025, itu pun setelah terus didesak dan bertumpuk ajuan bukti.
Namun ini hanya pro forma.
Pada tanggal 22 Mei 2025 Dirtipidum mengumumkan penghentian penyelidikan dengan prosedur yang dinilai melanggar hukum.
TPUA melaporkan Dirtipidum Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro ke Propam dan Irwasum Polri.
Namun tindak lanjut kandas dan tidak jelas.
Jokowi bahagia ditolong Bareskrim.
Djuhadhani pun naik pangkat.
Di tengah konspirasi Jokowi dan Mabes Polri, Polda Metro Jaya menerima Laporan Jokowi soal pencemaran, fitnah, penghasutan, dan manipulasi informasi elektronik.
8 orang Terlapor kini berstatus Tersangka.
Kepentingan Jokowi menjadi faktor penentu.
Jelas sekali Polri berada di kaki Jokowi.
Bermodal foto copy ijazah Laporan diterima, proses super cepat LP dan BAP selesai saat itu juga.
Delik aduan tanpa menyebut nama yang dilaporkan.
Dari pengakuan dan ngeles Jokowi sendiri.
Polri mau-maunya disuruh-suruh kerja untuk mencari.
Polda menyita ijazah SMA dan S-1 Jokowi tapi semprulnya tiba-tiba Jokowi bisa memperlihatkan ijazah itu kepada Projo.
Barang sitaan kok ada di Jokowi ?
Tanpa prosedur yang benar menurut KUHAP Terlapor ditingkatkan ke penyidikan dan tanpa prosedur yang benar pula 8 diantaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Dari rilis “berhati-hati” hingga nekad “menutup hati”.
Lalu dibuat klaster-klaster. Polisi ternyata gemar lucu-lucuan juga.
Semestinya di samping Klaster: ES, KTR, DHL, RE, MRF dan Klaster 2: RS, RSH, dan TT harus ada Klaster Utama, yaitu Jkw dan ini yang justru lebih patut sebagai tersangka.
Tapi karena Polri berada di kaki Jokowi maka hal seperti itu tidak terjadi.
Tersangka adalah aktivis dan peneliti.
Hal demikian namanya pemerkosaan hukum atau kriminalisasi. Jokowi lagi-lagi bahagia dan sukses telah berkonspirasi.
Polri yang tidak mampu mandiri akan semakin menjadi olok-olok publik.
Kasus penanganan ijazah palsu seperti ini justru membuat kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan semakin menipis menuju habis.
Kini menurut Survey Indikator institusi kepolisian menempati posisi kedua di bawah DPR yang paling tidak dipercaya publik.
Di urutan ketiga adalah partai politik.
Chris Komari Ketum Forum Diaspora Indonesia (FDI) yang berkedudukan California USA menyebut Polri dalam pola penanganan ijazah palsu Jokowi ini bagai “a bunch of bullshiters” (sekelompok pembohong).
Berbohong tentang keaslian ijazah Jokowi.
Jokowi sendiri mengeluh bahwa kasus ijazah palsunya telah mendunia, ia ingin ada pemulihan.
Pemulihannya ya Jokowi harus mendekam di penjara dulu.
Jangan ber-haha hihi sukses menipu. Mulih untuk merenung dan sesal atas habitat asasi kebohongannya.
Kejahatan utama Jokowi adalah telah menghancurkan marwah Polisi.
Seenaknya menginjak-injak dan membuat Polisi menjadi “a bunch of bullshiters” sekelompok pembohong.
M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Redaktur: Abdul Halim
