Sidang ke-79 Majelis Umum PBB sedang diadakan di New York, Amerika Serikat, dengan tema “Unity in diversity, for the advancement of peace, sustainable development and human dignity for everyone everywhere” atau “Kesatuan dalam keberagaman, untuk memajukan perdamaian, pembangunan berkelanjutan dan martabat masyarakat di seluruh dunia”, namun sangat disayangkan bahwa 23,5 juta penduduk Taiwan masih dikecualikan dari sistem PBB.
Sistem PBB tidak hanyamencegah pemerintah Taiwan untuk menghadiri pertemuan dan acara PBB, tetapi juga melarang pemegang paspor Taiwan, serta media dan jurnalis Taiwan untuk masuk ke lingkungan dan kawasan PBB atapun untuk meliput pertemuan dan acara terkait.
Hal ini sangat berlawanandengan tema dari Sidang Majelis Umum PBB.
Pada saat Sekretaris Jenderal Majelis Umum PBB Philemon Yang menyerukan dengan lantang pada sidang Majelis Umum PBB tahun inibahwa negara-negara anggota PBB harus memperkuat kerja samainternasional untuk menghadapi serangkaian tantangan global sepertiperubahan iklim dan eskalasi konflik regional, di sisi lain Tiongkok semakin intensif dalam meningkatkan upaya dan tindakan provokatifnyadi Laut China Timur, Laut China Selatan dan Selat Taiwan.
Tiongkok dengan sengaja mendistorsi Resolusi 2758 Majelis Umum PBB yang disahkan tahun 1971 untuk menyangkal status yang layak bagi Taiwan, dan dengan sengaja mengaitkan resolusi tersebut dengan “Prinsip SatuTiongkok” untuk menekan hak sah Taiwan dalam berpartisipasi secara bermakna di PBB dan badan-badan khusus PBB.
Resolusi 2758 Majelis Umum PBB tidak menyebutkan Taiwan padakeseluruhan teks, juga tidak menyatakan bahwa Taiwan adalah bagiandari Tiongkok, apalagi mengesahkan Tiongkok untuk mewakili Taiwan di PBB.
Oleh karena itu resolusi tersebut tidak ada hubungan dengan Taiwan.
Tiongkok terus memperluas niat buruk dengan menyalahartikanResolusi 2758 Majelis Umum PBB untuk menekan partisipasi Taiwan dalam berbagai platform internasional dan di berbagai kesempatanmenyebarkan narasi palsu bahwa resolusi tersebut merupakan dasar hukum kedaulatan Beijing atas Taiwan, yang faktanya sangat bertentangan.
Saat ini, semakin banyak negara yang menyampaikan kritik merekaterhadap interpretasi Tiongkok yang menyimpang terhadap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB, yaitu antara lain: pada laporan implementasitahunan “Common Foreign and Security Policy” Uni Eropa yang disahkan bulan Februari 2024 menegaskan bahwa Taiwan dan Tiongkoktidak saling membawahi satu sama lain, dan hanya pemerintah Taiwan yang dipilih secara demokratis yang dapat mewakili rakyat Taiwan secarainternasional; pada bulan April 2024, Mark Baxter Lambert, DeputiAsisten Sekretaris, Biro Asia Timur dan Pasifik, Kementerian LuarNegeri AS, menjelaskan posisi Amerika Serikat terhadap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB di German Marshall Fund, sebuah lembaga think-tank di Washington, D.C., isinya yaitu resolusi tersebut tidak mendukung, tidak setara, dan tidak mencerminkan konsensus Tiongkok terhadap“Prinsip Satu Tiongkok”; pada tanggal 30 Juli 2024, Aliansi Antar-Parlemen untuk Tiongkok (IPAC) yang terdiri dari lebih 250 anggotaparlemen dari 38 negara di seluruh dunia dan Uni Eropa mengesahkan“Model Resolusi IPAC terhadap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB” menunjukkan dukungan nyata untuk Taiwan; Senat Parlemen Australia dan Dewan Perwakilan Rakyat Parlemen Belanda baru-baru ini jugamengeluarkan mosi yang menyatakan bahwa Resolusi 2758 MajelisUmum PBB tidak menetapkan kedaulatan Tiongkok atas Taiwan, jugatidak mempunyai kualifikasi untuk mengecualikan partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional.
Republik Tiongkok (Taiwan) adalah negara yang berdaulat, merdeka dantidak berafiliasi dengan Republik Rakyat Tiongkok.
Hanya pemerintahyang dipilih oleh rakyat Taiwan dapat mewakili 23,5 juta pendudukTaiwan di dunia internasional.
Republik Rakyat Tiongkok tidak pernahmemerintah Taiwan, dan Taiwan jelas bukan bagian dari Republik Rakyat Tiongkok.
Hal ini merupakan status quo Selat Taiwan saat ini dan jugamerupakan fakta objektif yang diakui secara internasional.
Upaya Beijing untuk memaksakan “Prinsip Satu Tiongkok” kepada negara-negara lain dan organisasi internasional telah melanggar kemerdekaan politik negaralain dan hanya akan meningkatkan antipati rakyat Taiwan dan komunitasinternasional terhadap perilaku intimidasi dan tirani dari Tiongkok.
Dengan menggunakan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB sebagai senjata, Beijing terus menyebarluaskan narasi palsu bahwa Taiwan adalah bagian dari Tiongkok demi membangun dasar hukum menggunakan kekerasan untuk menyerang Taiwan di masa depan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok secara sepihak menyatakan bahwa Selat Taiwan dan perairan 10 mil di lepas pantai timur Taiwan akan ditetapkan sebagai laut teritorial Tiongkok.
Kemudian, Tiongkok mengabaikan risiko keselamatan penerbangan regional dan secara sepihak mengumumkan perubahan rute penerbangan M503, W122 dan W123.
Ditambah lagi baru-baru ini Tiongkok mengumumkan “Coast Guard Law” yang memungkinkan personelnya untuk memasuki perairan yang disengketakan dan naik serta memeriksa kapal dengan maksud memperkuat klaim teritorial palsu dan memperluas pengaruh Tiongkok.
Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa Beijing berupaya mengubah status quo secara sepihak di Selat Taiwan, memperluas otoritarianisme di kawasan Indo-Pasifik, dan merupakan ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan global.
Taiwan adalah mitra dagang dan ekonomi penting yang memainkan peran krusial dalam rantai pasokan global.
Taiwan memiliki klaster industri semikonduktor terlengkap di dunia yang memproduksi lebih dari 60% chip dan 92% chip tercanggih bagi kebutuhan global.
Apabila Tiongkok meggunakan kekerasan untuk menyerang Taiwan, diperkirakan akan menyebabkan kerugian ekonomi global yang sangat besar yaitu lebih dari 10 triliun dolar AS atau sekitar 10% dari total GDP global serta skala kerugian yang lebih besar dari perang Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19.
Di sisi lain, Selat Taiwan adalah jalur penting transportasi laut dantransportasi udara global.
Lebih dari 40 persen kargo maritim global melewatiSelat Taiwan. Setiap tahun, sekitar 2 juta penerbangan dan 72 jutapenumpang lepas landas, mendarat dan transfer di “Taipei Flight Information Region (Taipei FIR)” yang berada di bawah tanggung jawabTaiwan.
Selain itu, jumlah warga negara asing dari Asia Tenggara yang saat ini tinggal di Taiwan melebihi 1.000.000 orang, termasukdiantaranya sekitar 400.000 orang warga negara Indonesia.
Jika Tiongkokmenggunakan kekerasan untuk menyerang Taiwan, maka akan merugikanmasyarakat di seluruh dunia, terutama akan sulit menjamin keselamatan 400.000 orang warga negara Indonesia yang berada di Taiwan.
Pada saatyang sama, hal ini akan berdampak serius pada arus transportasi laut, transportasi udara dan perdagangan di kawasan Indo-Pasifik dan global.
Piagam PBB dengan jelas menetapkan bahwa tujuan utama PBB adalahuntuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia, dan menekankan bahwakonflik internasional harus diselesaikan dengan cara damai.
Negara-negara anggota PBB harus menghindari penggunaan kekerasan atauancaman kekerasan untuk menegakkan semangat Piagam PBB danmemelihara tatanan internasional yang berbasis aturan. Pada tanggal 23 Mei, Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric menyorotihal ini dengan menyatakan bahwa semua negara anggota PBB mempunyai tugas dan kewajiban untuk menjaga moral dan martabat yang tercantum di Piagam PBB. Mengenai Tiongkok dan Selat Taiwan, iamendesak pihak-pihak terkait untuk menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan ketegangan di kawasan.
Saya dengan ini menyerukan kepada PBB agar dapat proaktif dalam mengambil tindakan dan menghadapi niat buruk Tiongkok yang telah menyalahartikan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB.
Hal ini menjadi ancaman serius bagi status quo di Selat Taiwan serta perdamaian dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik.
Saya juga menyerukan kepada Sekretariat PBB untuk menegakkan netralitas, berhenti secara keliru menerapkan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB, dan berhenti merampas hak rakyat dan media Taiwan untuk mengunjungi, menghadiri atau meliput pertemuan dan acara PBB.
Praktik diskriminatif sekretariat PBB telah secara serius melanggar Pasal 2 Ayat 1 Piagam PBB mengenai tujuan PBB yaitu “penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri” dan prinsip-prinsip lain yang dianut oleh PBB termasuk inklusivitas dan universalitas.
Sistem PBB didirikan untuk memajukan kepentingan publik dan melayani masyarakat di seluruh dunia.
Oleh karena itu akses ke PBB seharusnya menjadi hak semua orang, bukan hanya karena pertimbangan politik kemudian mengabaikan hak asasi manusia dari rakyat Taiwan.
Kami menyerukan kepada sekretariat PBB untuk segera mengakhiri kebijakan diskriminatif terhadap rakyat Taiwan dan mencari cara yang tepat untuk mengakomodasi partisipasi Taiwan guna berkontribusi dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Usaha keras Taiwan selama beberapa dekade telah membuktikan kepada komunitas internasional bahwa Taiwan adalah anggota internasional yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan, serta mitra yang sangat krusial dan sebuah kekuatan untuk kebaikan.
Oleh karena itu denganmemasukkan Taiwan ke dalam sistem PBB akan memungkinkankomunitas internasional secara keseluruhan mendapat manfaat dari Taiwan.
Tema sidang Majelis Umum PBB tahun ini adalah tidak meninggalkan siapa pun, yang juga merupakan komitmen inti Agenda Pembangunan Berkelanjutan tahun 2030.
Sangat penting bagi Taiwan untuk dimasukkan ke dalam sistem PBB demi menjamin tercapainyaTujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di tahun 2030.
Sekali lagi saya menyerukan kepada teman-teman dari seluruh lapisanmasyarakat di Indonesia untuk terus mendukung partisipasi Taiwan dalam sistem PBB.
Hanya dengan menerima partisipasi penuh Taiwan kita dapat menciptakan dunia yang damai, berkelanjutan, dan indah yang menghargai martabat manusia di generasi sekarang dan yang akan datang.
John Chen
Representative, Taipei Economic and Trade Office (TETO)