Kadang niatnya menguatkan, tapi tak sengaja mengabaikan luka. Inilah mengapa penting memahami perbedaan antara harapan yang tulus dan paksaan untuk terus terlihat ‘baik-baik saja’.
Pernah nggak sih, kamu merasa makin terpuruk justru setelah mendengar kalimat “ayo semangat, kamu pasti bisa!”?
Kalau iya, kamu nggak sendirian. Yuk pelan-pelan kita kulik, mengapa sesuatu yang terdengar positif justru bisa berdampak negatif dan bagaimana kita bisa memulihkan cara kita memberi dukungan, termasuk pada diri sendiri.
Ketika Positivitas Jadi Tekanan Baru
Dalam dunia yang bergerak cepat, kita sering merasa harus kuat, harus semangat, harus terus terlihat baik-baik saja.
Ungkapan seperti “jangan sedih”, “ayo bersyukur”, “lihat sisi baiknya” sudah jadi bagian dari percakapan harian.
Tapi kadang, tanpa sadar, niat baik ini bisa berubah jadi tekanan yang tak sehat. Kita menyebutnya toxic positivity atau kalau ingin kita seduh dalam versi hangat: toxic PositiviTEA.
Apa itu toxic positivity?
Secara sederhana, ini adalah kecenderungan memaksakan hal-hal positif sambil menolak, meminimalkan, atau mengabaikan emosi yang dianggap negatif.
Alih-alih memberi ruang untuk marah, sedih, kecewa, atau takut—kita justru tergesa-gesa menambalnya dengan senyum palsu dan kata-kata semangat yang belum waktunya.
Mengapa Berbahaya?
Toxic positivity tampak manis di luar, tapi bisa melukai dalam diam.
Beberapa dampaknya:
1. Menekan Emosi Sehat:
Ketika seseorang tidak diberi ruang untuk merasa, mereka belajar menyimpan luka sendiri. Lama-lama, ini bisa jadi sesak yang tak berujung.
2. Rasa Bersalah karena “Tidak Bahagia”:
Seseorang jadi merasa bersalah karena tidak cukup bersyukur, padahal mereka sedang terluka. Akhirnya, mereka justru makin jauh dari proses pulih.
3. Merasa Sendirian dalam Luka:
Karena semua orang terlihat “kuat”, orang yang sedang rapuh jadi merasa aneh atau salah sendiri. Padahal, sedih itu manusiawi.
Kalimat yang Perlu Diwaspadai
Beberapa contoh kalimat yang sering dimaksudkan untuk menguatkan, tapi bisa menjadi racun halus jika tak disertai empati:
“Jangan dipikirin terus, move on aja.”
“Pasti ada hikmahnya kok.”
“Kamu tuh harus lebih bersyukur.”
“Masih mending kamu, coba bayangin orang lain yang lebih susah.”
Kalimat-kalimat ini bisa terasa meremehkan pengalaman orang lain, terutama ketika mereka belum siap menerima makna dari luka yang mereka alami.
Bedanya Optimisme Sehat dan Toxic Positivity
Perlambat, bukan keberhentian tanpa arah.
Kita perlu membedakan antara optimisme sehat dengan positivitas beracun.
Optimisme sehat: Mengakui rasa sakit, hadir dalam kesedihan, lalu pelan-pelan menumbuhkan harapan.
Toxic positivity: Menolak rasa sakit, buru-buru menyuruh “bahagia lagi”, seolah sedih itu salah.
Optimisme sehat memberi ruang untuk berkata:
“Aku tahu ini berat. Tapi aku percaya kamu bisa melewatinya, dengan cara dan waktu kamu sendiri.”
Lalu, Harus Bagaimana?
Berikut beberapa cara sederhana agar kita bisa jadi pendukung yang lebih empatik, baik untuk orang lain maupun diri sendiri:
1. Tawarkan kehadiran, bukan solusi cepat.
Kadang yang dibutuhkan bukan nasihat, tapi teman yang duduk diam dan hadir.
2. Gunakan kalimat netral tapi menguatkan:
“Aku dengar kamu.”
“Wajar banget kamu merasa begitu.”
“Aku di sini kalau kamu butuh cerita.”
3. Berlatih napas sadar saat emosi datang:
Alih-alih memaksa diri cepat “baik-baik saja”, izinkan diri bernapas dalam rasa yang ada. Kadang yang dibutuhkan hanya satu tarikan napas penuh penerimaan.
Pelan-pelan, Tapi Pulih
Harapan tak selalu berbentuk semangat membara. Kadang harapan justru lahir dari pelukan diam, dari keberanian mengakui, “Aku sedang tidak baik, dan itu pun tak apa.”
Di dunia yang sibuk mengajak kita kuat terus-menerus, mari kita normalisasi untuk melambat tanpa merasa bersalah, merasakan tanpa harus buru-buru menjelaskan, dan pulih tanpa perlu pamer proses.
Karena sungguh, perasaanmu valid, dan kamu berhak untuk merasa, sebelum akhirnya memilih melangkah kembali.
Tentang Rubrik:
Artikel ini merupakan bagian dari rubrik Pelan-Pelan Pulih hasil kolaborasi antara beritaind.com dan Tio Novi, akupunkturis holistik dan konselor reflektif yang mendampingi proses pulih manusia dengan pendekatan menyeluruh: tubuh, emosi, makna.
Mari tersambung di @tio.novi, untuk pelukan kata dan perenungan harian lainnya.
Disclaimer:
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai saran medis atau pengganti terapi profesional.
Bila kamu merasa kewalahan secara mental atau emosional, pertimbangkan untuk menghubungi tenaga kesehatan atau psikolog terpercaya.