Kadang niatnya menguatkan, tapi tak sengaja mengabaikan luka. Inilah mengapa penting memahami perbedaan antara harapan yang tulus dan paksaan untuk terus terlihat ‘baik-baik saja’.
Pernah nggak sih, kamu merasa makin terpuruk justru setelah mendengar kalimat “ayo semangat, kamu pasti bisa!”?
Kalau iya, kamu nggak sendirian. Yuk pelan-pelan kita kulik, mengapa sesuatu yang terdengar positif justru bisa berdampak negatif dan bagaimana kita bisa memulihkan cara kita memberi dukungan, termasuk pada diri sendiri.
Dalam hidup yang serba cepat dan penuh tuntutan ini, kita diajari untuk terus berpikir positif.
“Jangan sedih,” “Lihat sisi baiknya,” atau “Bersyukur dong!” sering kali jadi mantra harian.
Tapi… Benarkah itu selalu menyehatkan? Atau justru bisa jadi racun tersembunyi yang mengikis kejujuran emosi kita?
1. Apa Itu Toxic Positivity?
Penjelasan singkat bahwa toxic positivity adalah dorongan untuk tetap positif secara berlebihan, sampai menolak atau menekan emosi yang dianggap ‘negatif’.
2. Mengapa Bisa Jadi Masalah?
Mengabaikan rasa sedih, marah, atau kecewa bisa memperburuk kondisi mental.
Bisa memicu rasa bersalah karena “nggak cukup bersyukur”. Menghambat pemrosesan emosi yang sehat.
3. Contoh Kalimat yang Terlihat Positif tapi Bisa Melukai:
“Pasti ada hikmahnya kok.”
“Jangan dipikirin terus, move on aja.”
“Bersyukur dong, masih banyak yang lebih parah dari kamu.”
4. Bedanya dengan Optimisme Sehat:
Optimisme sehat mengakui rasa sakit, lalu mencari jalan pulih.
Toxic positivity menolak keberadaan rasa sakit dan buru-buru ‘menambalnya’.
5. Cara Menjadi Pendukung yang Lebih Welas Asih:
Tawarkan kehadiran, bukan solusi instan.
Ucapkan: “Aku dengar kamu.” atau “Nggak apa-apa merasa kayak gitu.”
Dukung tanpa menghakimi proses orang lain.
6. Latihan Ringan: ‘Napasin Dulu’ Bukan ‘Nafas Baru Harus Sekarang’
Ajakan untuk melatih hadir dalam emosi dengan napas sadar dan tidak memaksa diri cepat-cepat “baik lagi”.
Di balik semangat yang terlihat, banyak dari kita memendam luka yang belum sempat dirawat.
Maka, kadang yang paling kita butuhkan bukan kata-kata penyemangat—melainkan ruang aman untuk merasa.
Pelan-pelan, kita bisa belajar bahwa harapan tak selalu harus bersuara lantang. Kadang ia hadir justru lewat diam yang dipeluk.
Keterangan Kolaborasi:
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi antara portal berita beritaind.com dan ruang reflektif Pelan-Pelan Pulih, diampu oleh Tio Novi, akupunkturis holistik dan konselor reflektif.
Disclaimer:
Tulisan ini tidak menggantikan saran medis maupun diagnosis profesional. Silakan berkonsultasi dengan ahli jika kamu mengalami gangguan psikologis yang serius.
.