Home Opini Belajar Dari Artidjo Alkostar, Keadilan Itu Tidak Ada Ukurannya, Keadilan Adalah Perasaan Batin Dari Kebenaran

Belajar Dari Artidjo Alkostar, Keadilan Itu Tidak Ada Ukurannya, Keadilan Adalah Perasaan Batin Dari Kebenaran

by Slyika

Sepenggal kalimat yang dilontarkan Artidjo Alkostar—saat berkesempatan bertemu dan mewawancarai untuk kepentingan wawancara akhir tahun 2016—kembali terngiang di benak saya saat mendengar informasi bahwa beliau telah berpulang.

Saya mungkin tidak seperti rekan-rekan yang lain, punya waktu berdiskusi atau menimba pengetahuan dan prinsip hidup dengan frekuensi cukup sering dari beliau.

Namun, pertemuan singkat itu sudah cukup membanggakan bagi saya. Bisa bertemu dengan berdiskusi—meski kurang dari 30 menit—dengan seorang hakim yang sangat menjaga integritasnya dalam memutuskan suatu perkara.

Kini, beliau sudah mendahului menghadap Sang Khalik dan meninggalkan banyak prinsip hidup yang layak dicontoh dan menjadi teladan.

Sosok seperti Artidjo Alkostar mungkin jarang. Bukan berarti tidak ada. Optimisme lahirnya manusia Indonesia berintegritas seperti beliau, terus tanamkan dalam sanubari.

Jangan mudah menyerah terhadap kenyataan akan banyaknya tokoh yang diharapkan jadi panutan karena integritasnya, kemudian malah tersangkut perkara hukum, seperti korupsi.

Integritas memang sebuah kata. Banyak definisi integritas. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan integritas sebagai mutu, sifat dan keadaan yang menggambarkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan dan kejujuran.

Andrias Harefa menyatakan tiga kunci ini bisa diamati sebagai bentuk integritas, yaitu menunjukkan kejujuran, memenuhi komitmen, dan mengerjakan sesuatu dengan konsisten.

Kemudian pendapat dari Ippho Santoso, integritas sering diartikan menyatunya pikiran, perkataan dan perbuatan untuk melahirkan reputasi dan kepercayaan.

Dan, masih banyak lagi definisi integritas. Tapi, dari semua definisi itu, integritas tidak jauh dari sikap jujur dan memenuhi komitmen untuk melahirkan kepercayaan.

Kejujuran mungkin mudah diungkapkan tetapi sangat sulit dilakukan. Hakim Agung sekelas Artidjo Alkostar pun paham.

Makanya, saat menjabat Hakim Agung selama belasan tahun, beliau tidak menerima tamu yang berhubungan dengan perkara.

Artidjo mengaku lemah, dhaif, dan takut tergelincir. Sebagai konsekuensi, dia memilih untuk menjaga jarak dan menghindari utang jasa atau balas budi.

Begitu pun soal komitmen. Berujar atau bahkan melantangkan sumpah sebagai pejabat publik, maupun mengucap janji kepada teman atau pasangan, mungkin gampang.
Bagi Artidjo, sejak menjadi Hakim Agung, beliau siap untuk tidak berkawan, menjaga jarak dan harus adil. Adil kepada siapapun, termasuk mungkin kepada orang yang dibencinya sekalipun, harus diperlakukan secara adil.

Akan banyak sederet cerita kalau kita mau mengulik “keadilan” dari seorang Artidjo Alkostar melalui putusan-putusannya atau cerita hidupnya yang lain.

Menyatukan perkataan dan perbuatan, disitulah terkadang kita merasa sulit. Akan banyak dalih dan argumen yang dibangun untuk memperkuat “kelemahan” itu.

Entah dengan dalih kesempatan, tuntutan pekerjaan, keterpaksaan akan sistem, faktor ekonomi, keluarga, desakan pimpinan dalam lain sebagainya.

Kejujuran dan memenuhi komitmen sesungguhnya tidak identik dan milik suatu kelompok atau golongan. Semua manusia pernah dihadapkan pada kedua hal itu, entah yang mapan, atau mereka yang hidup dalam kondisi perekonomian yang hampir sejahtera.

Tidak banyak yang berhasil dan menjadi pemenang. Terlihat pada bagaimana mereka mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi yang mampu bertahan dalam kejujuran dan komitmennya, niscaya lahir kepercayaan. Kepercayaan yang datang dari orang lain terhadap diri kita. Reputasi pun terbangun.

Tulisan ini tak ada maksud menggurui, tetapi lebih sebagai cerminan dan panduan bagi diri sendiri dengan belajar dari sosok Hakim Agung Artidjo Alkostar.*

Fakhrur Haqiqi

You may also like

Leave a Comment