Hari ini saya rencanakan untuk libur gowes. Tidak langsung lanjut ke Maumere. Biar bisa istirahat dulu, sekaligus biar bisa lebih tenang memikirkan cara untuk nyeberang ke Papua.
Tempat saya menginap di Ende ini adalah kediaman Pak Heru Rudiharto, Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu (TNK) Beliau ini teman kuliah Pak Yanuar Sapto, tetangga dan rekan gowes saya di komunitas KSepXX.
Sebagai Kepala Balai TNK, Pak Heru menempati rumah dinas yang terletak di daerah Jalan Nangka.
Pak Heru, yang baru sekitar satu bulan menjabat Kepala TNK, tinggal sendirian karena keluarganya ada di Bogor. Istrinya bekerja, anak-anaknya masih sekolah.
Pak Heru menyambut saya dengan gembira. Tadi malam diajaknya saya makan di tempat makan yang terletak tidak jauh dari rumah. Satu menu istimewa buat saya adalah pepes ikan tenggiri.
Pagi ini sementara Pak Heru berangkat ke kantor, saya sendirian di rumah. Nyaman karena fasilitasnya lengkap. Termasuk ada wifi pula.
Karena berencana tidak langsung berangkat ke Maumere, saya bisa nyuci pakaian kotor dulu. Nyuci ala kadarnya.
Rendam di deterjen, kucek-kucek, bilas. Beres nyuci, kembali saya memeriksa aplikasi untuk mencari tiket kapal Pelni.
Dari hasil pencarian saya menemukan rute alternatif untuk mencapai Merauke. Yaitu dengan cara estafet. Dari Maumere naik kapal ke Baubau (Sulawesi Tengggara), lalu ke Ambon (Maluku), dan akhirnya ke Merauke).
Cara estafet ini tentu akan melelahkan. Dan nembutuhkan biaya lebih banyak ketimbang kapal dengan rute langsung Maumere – Merauke. Namun apa boleh buat, itulah pilihan yang ada sekarang.
Siang hari, setelah mengangkat jemuran, saya keluarkan sepeda. Menuju kantor DPRD Kabupaten Ende di Jalan Eltari.
Saya akan menemui Bu Ansi, sepupunya teman saya Pak Benedictus Renny See. Beliau saya kenal sejak dulu saat masih bermitra dengan Bank Papua.
Hingga sekarang meski tak lagi terlibat dalam pekerjaan, kami masih menjaga komunikasi. Pak Reny kini menjabat Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
Di DPRD suasana terlihat sepi. Mungkin karena saya datang sudah terlalu siang. Tanpa banyak kesulitan saya langsung ke ruangan Bu Ansi. Beliau adalah salah satu staf di DPRD Kabupaten Ende.
Kami berbincang-bincang hangat. Saya banyak bertanya tentang Ende, bu Ansi bertanya tentang sepedahan saya.
“Terima kasih pak telah mampir ke Ende. Kota penting dalam perjalanan sejarah bangsa kita,” kata Bu Ansi.
Saat berpamitan, bu Ansi memberi kejutan buat saya. Beliau ternyata telah menyiapkan oleh-oleh berupa selendang dan ikat kepala dari kain tenun khas NTT.
Saya senang sekaligus malu juga karena tidak bisa memberi balasan.
Dari DPRD saya meluncur ke kawasan simpang lima di daerah Koponggena. Orang Ende menyebutnya sebagai “Lampu Lima”.
Disebut demikian karena ternyata ini pertemuan lima jalan.
Lampu Lima ini bisa disebut sebagai ikon kota Ende. Ada spot foto berupa jembatan dengan latar belakang tulisan ENDE yang sangat besar.
Di persimpangan ini ada Masjid Darul Taqwa, dan Bandar Udara H. Hasan Aroeboesman.
Di Simpang Lima ini saya bertemu anak-anak usia SMP yang sedang nongkrong nunggu sore. Melihat tampilan saya yang agak lain, mereka langsung mendekat dan bertanya ini-itu.
“Nggak capek pak,” tanya mereka saat mengetahui saya datang dengan bersepeda.
Dari kawasan Koponggeba saya bergeser ke Jalan Gatot Subroto. Menuju Patung Pahlawan Marilonga. Saya ambil beberapa foto di sini.
Di sepanjang jalanan kota Ende saya melihat banyak masjid, dan juga banyak gereja. Dan banyak pula warung nasi Padang.
Kembali ke rumah, saya memeriksa pesan whatsapp. Salah satunya cukup istimewa. Yaitu pesan dari Desnaidi Azis, teman kuliah di Unpad dulu.
Idez, begitu biasa dipanggil, minta tolong saya untuk menyalurkan dana zakat malnya kepada masjid-masjid dalam rute perjalanan gowes ini
. “Gua serahkan ke lo untuk diberikan ke masjid mana saja, dan berapa alokasinya,” katanya.
Saja oke saja. Karena bagus juga buat saya, bisa singgah ke masjid sambil bawa dana.
Taufik Abriansyah