Home Opini Masih Ada Guru ‘Killer’ di Era 4.0

Masih Ada Guru ‘Killer’ di Era 4.0

Catatan Diskusi Forum Wartawan Kebangsaan

by Slyika

ENTAH kapan istilah guru “killer” mulai muncul. Istilah itu kini sudah meluas, me-nasional. Tidak ada pihak guru menyanggah.

Tidak ada pula larangan dari pihak otoritas pendidikan untuk tidak melekatkan predikat “killer” pada profesi guru.

Dari ruang diskusi mingguan Forum Wartawan Kebangsaan (FWK) di Jakarta beberapa peserta bersemangat, saling memotong cerita untuk mengungkapkan pengalaman saat masa-masa bersekolah.

“Saya dihukum disuruh berdiri dengan satu kaki. Kaki satunya diangkat, dalam waktu lama,” kata Koordinator Nasional FWK Raja Parlindungan Pane yang menceritakan pengalamannya dari Sumatera Utara.

“Saya juga,” kata saya. Betis bagian belakang kaki saya dan teman-teman sekelas di sekolah dasar di Lamongan, Jawa Timur sudah berkali-kali merasakan cambukan.

Hukuman cambuk kedengarannya mengerikan, tetapi kami sudah merasakan.

Jumlah cambukan diberikan berdasarkan jumlah kesalahan menjawab soal mata pelajaran berhitung.

Kalau salah dua dalam menjawab pertanyaan dicambuk dua kali, salah lima dicambuk lima kali, dan seterusnya.

Cambuk yang digunakan adalah bambu panjang sekitar 50 senti meter, dan sebesar jari telunjuk orang dewasa.

Bambu itu biasa digunakan guru untuk menunjuk dan menerangkan tulisan di papan tulis.

Alat ini dulu disebut “tuding”, alat untuk menuding (menunjuk).

Nah, ketika saya masuk sekolah lanjutan tingkat atas baru lah mendengar kawan-kawan mengatakan ada guru “killer”, terutama guru-guru mata pelajaran yang dinilai sulit oleh murid.

Waktu itu tahun 1970-an, sebutan guru “killer”, terutama diarahkan pada kepala sekolah dan guru yang biasa memberi hukuman murid.

Tetapi kata “killer” tidak pernah diartikan secara harfiah yang berarti “pembunuh”.

Mana ada guru “pembunuh”? Itu hanya sebutan untuk guru galak terhadap murid.

Kenapa murid begitu? Mungkin saja murid begitu jengkel terhadap guru, sampai menyebut guru “killer”.

Tetapi sebutan “guru killer” tidak pernah disampaikan di depan guru yang bersangkutan.

Mungkin guru yang bersangkatan tidak tahu ketika diberi cap “guru killer”.

Interaksi antara guru-murid sering berlebih.

Tentu guru lebih dominan, instruksional, menggunakan suara bernada tinggi, keras.

Bahkan di antara guru ada yang ringan tangan. Menyentil atau menjewer telinga murid.

Meskipun guru “killer” ada di mana-mana, saat itu tidak ada yang protes.

Kejadian demi kejadian tidak sampai ke telinga orangtua di rumah, dan tidak menyebar kemana-mana.

Namun di zaman media sosial, zaman serba internet, era 4.0, kejadian di ruang kelas cepat menyebar luas.

Batas dinding kelas seperti tidak ada.

Informasi menjadi tidak mengenal batas.

Konflik guru-murid menyebar ke seluruh negeri secepat kilat.

Pendapat pro-kontra antara dukungan terhadap murid dan guru menjadi beradu serius di perdebatan maya.

Akan menjadi lebih ramai ketika konflik guru-murid disusul dengan aksi heboh, seperti demonstrasi dan mogok bersekolah.

Terakhir reaksi heboh dilakukan sekitar 630 pelajar SMAN 1 Cimarga, Lebak, Provinsi Banten.

Mereka mogok belajar kabarnya dipicu oleh guru yang menempeleng seorang siswa yang kedapatan merokok di sekolah tersebut.

Sang guru menerapkan aturan sekolah, yaitu larangan merokok di sekolah.

Guru mendapat pujian sekaligus celaan karena diduga menempeleng.

Sementara si murid juga dicela dan dibela.

Dicela karena melanggar aturan sekolah, dan dibela karena seharusnya tidak menjadi korban penempelengan oleh guru.

Namun pihak sekolah dan pejabat yang menangani pendidikan di daerah tersebut merasa lega setelah semua peserta didik kembali masuk sekolah pada Rabu (15/10/25).

Sekarang perlawanan murid terhadap guru semakin terdengar nyaring di era 4.0.

Sementara konflik guru- murid bagaikan rem kendaraan blong.

Banyak sudah kajian akademik membahasnya, tetapi tidak membuat konflik guru-murid berhenti.

Kalau terus-menerus persoalan ini tidak bisa diselesaikan, dunia pendidikan memasuki bahaya serius.

Sekolah akan sulit mendapatkan kepercayaan publik.

Padahal guru telah lama dipercaya sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing yang melindungi murid.

Guru adalah sosok yang dihormati, guru bukan sosok yang ditakuti, guru tidak bertindak diskriminatif terhadap murid.

Diskriminasi pendidikan yang kecam dan dipersalahkan oleh sejarah, seperti era penjajahan sebelum pelaksanaan politik etis, sudah berakhir.

Pada zaman kolonial Belanda, yang boleh bersekolah hanya kalangan elite, warga kulit putih asal Eropa.

Sekarang pendidikan adalah hak semua orang, hak segala bangsa.

Homogenitas peserta didik, menuntut guru mengerti dan berhati-hati dalam menggunakan kata-kata dan bahasa tubuh.

Kata-kata yang mengandung ejekan, bullying, dan bahasa tubuh yang mengancam, apalagi benar-benar memukul, bisa menjadi sumber konflik.

Dalam diskusi mingguan Forum Wartawan Kebangsaan (FWK) yang berlangsung Jumat (17/10/25) di Jakarta Pusat, bertema pendidikan, menyoroti memburuknya konflik guru-murid.

Peristiwa mogok belajar di SMAN I Cimarga, Lebak adalah alarm kuat untuk pemerintah segera membenahi dunia pendidikan.

“Pemerintah pimpinan Presiden Prabowo Subianto sudah saatnya memperhatikan perbaikan dunia pendidikan dari berbagai sisi secara komprehensif,” kata Hendry Ch. Bangun, mantan wartawan senior Harian Kompas dan mantan Wakil Ketua Dewan Pers yang berbicara dalam diskusi tersebut.

Fenomena konflik guru-murid harus segara diselesaikan.

Diselidiki persoalannya secara menyeluruh, termasuk metode pengajaran dan dan materi ajarnya.

“Apa yang terjadi kalau sampai guru tidak dipercaya murid. Dunia pendidikan akan terhenti,” kata Hendry.

Diskusi FWK mendesak agar pemerintah pimpinan Prabowo Subianto melakukan perbaikan dunia pendidikan secara menyeluruh.

M. Nasir
Anggota Forum Wartawan Kebangsaan (FWK), Wartawan, dan Penulis Kehidupan

 

 

You may also like

Leave a Comment