PALEMBANG – Sejumlah pabrik karet di Sumsel mengalami kekurangan bahan baku berupa bahan olahan karet (bokar). Kondisi ini membuat pabrik-pabrik karet terpaksa mengimpor bahan baku tersebut dari luar negeri, seperti dari Vietnam, Myanmar hingga negara dari Afrika. Kondisi ini terjadi di Sumsel sudah sejak pertengahan 2021.
Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex K Eddy mengatakan, langkah mengimpor bokar tersebut diambil karena pabrik kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku dari petani.
“Para pelaku usaha pabrik karet terpaksa mengimpor bokar dari luar negeri demi menjaga kelangsungan bisnis, supaya tidak tutup” ujar Alex, Rabu (19/1/22).
Untuk dapat tetap bertahan, lanjut Alex, pabrik karet harus mendapatkan pasokan bahan baku yang cukup sesuai dengan kapasitas yang terpasang dari mesin olahan bokar. Sejauh ini, rata-rata pabrik karet di Sumsel hanya mampu memanfaatkan 50-60 persen kapasitas terpasang.
“Pabrik dengan kapasitas sedang yakni 10.000 ton perbulan, bisa dikatakan sudah bagus jika mereka bisa mengolah 6.000 ton perbulan. Yang sulit ini pabrik dengan kapasitas 15.000 ton perbulan, terkadang hanya bisa mengolah 9.000 ton perbulan,” lanjutnya.
Menurutnya, kondisi ini membuat sejumlah banyak pabrik tidak mampu bertahan, bahkan Gapkindo Sumsel mencatat terdapat dua pabrik berkapasitas 6.000 ton perbulan sudah gulung tikar.
Padahal dua pabrik tersebut masing-masing memiliki tenaga kerja sekitar 200 orang.
“Sebagian perusahaan terpaksa memutar otak, mulai dari mengimpor pasokan bahan baku dari luar negeri, efisiensi pabrik, hingga mengurangi jadwal kerja karyawan,” ungkap Alex.
Untuk impor bokar, kata Alex, negara tidak melarang perusahaan pemilik pabrik karet melakukannya asalkan ketika diekspor sudah dalam bentuk karet spesifikasi teknis (TSR). Dengan kondisi tersebut dinilai masih sulit untuk bertahan.
“Bisa dikatakan untungnya sangat tipis sekali. Tapi ini menjadi pilihan pengusaha demi menghindari kerugian yang lebih besar yakni pinalti atas kontrak kerja dari pihak pembeli lantaran tak mampu memenuhi kewajiban,” katanya.
Dijelaskan Alex, jika ini terjadi maka dipastikan buyer (pembeli) akan berpindah ke perusahaan lain, yang mungkin ada di negara lain karena saat ini bukan Indonesia saja yang mengandalkan komoditas karet.
“Terkait ini, Gapkindo telah menyampaikan ke pemerintah untuk meminta solusi atas permasalahan ini demi menjaga keberlangsungan sektor perkebunan karet,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel, Rudi Arpian mengatakan, produksi karet Sumsel mengalami penurunan dari 1,1 juta ton pada 2020 menjadi hanya 900.000 ton pada 2021.
“Penurunan ini diperkirakan disebabkan tiga faktor yakni menurunnya produktivitas kebun karena sudah berusia tua atau belum diremajakan. Lalu, menurunnya gairah petani untuk memanen karena harga yang rendah, hingga pengalihfungsian lahan karet menjadi lahan sawit,” ungkap Rudi.
Dijelaskan Rudi, saat ini harga karet di tingkat petani yang dijual melalui Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar mencapai Rp12.000 perkilogram untuk masa pengeringan satu minggu atau KKK 60 persen.
Sementara jika menjual ke tengkulak, petani hanya mendapatkan harga sekitar Rp10.000 perkilogram hingga Rp8.000 perkilogram.
“Kami melihat persoalan harga ini yang membuat petani malas menyadap karet, karena umumnya mereka juga hanya buruh yang menerapkan sistem bagi hasil dengan pemilik lahan,” jelasnya. (deansyah)