Dalam angka 36 Pasal 1 Undang-Undang No.6/2011 tentang Keimigrasian disebutkan bahwa deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia.
Selanjutnya di dalam ayat (2) pasal 75, diatur bahwa deportasi merupakan salah satu rupa Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK) yaitu sanksi administratif yang ditetapkan pejabat imigrasi terhadap orang asing di luar proses peradilan (Pasal 1 angka 31).
Dalam ayat (3) pasal 75 diatur bahwa TAK berupa deportasi dapat juga dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia karena berusaha menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negaranya.
Pendeportasian seperti ini pernah dilakukan oleh Kantor Imigrasi (Kanim) Ngurah Rai pada (19/03/2021) lalu yaitu terhadap 2 orang buronan pemerintah Rusia atas nama Andrew Ayer alias Andrei Kovalenka dan Ekaterina Trubkina yang ditangkap oleh Resmob Bali (24/2/21) pkl.01.30 wita di suatu vila di wilayah Kuta Utara-Kabupaten Badung.
Lalu bagaimana halnya dengan kegiatan pendeportasian oleh imigrasi yang viral akhir-akhir ini yaitu terhadap seorang laki-laki WN Kanada JDC (34) yang pernah menari tanpa busana di puncak Gunung Batur-Kintamani Bali dan rencana pendeportasian terhadap seorang perempuan WN Rusia Aleena Fazlev (26) yang ternyata ia berprofesi sebagai investor tetapi telah berfoto tanpa busana di Obyek Wisata Kayu Putih, Banjar Dinas Bayan, Desa Tua-Tabanan?
Jika pelaksanaan pendeportasian didasarkan kepada Pasal 75 UU.6/2011 sebagaimana diatur dalam ayat (1), mungkin yang menjadi dasar hukumnya adalah frasa “…dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum…”.
Frasa ini menurut hemat saya sebenarnya tidak boleh berdiri sendiri melainkan harus bersifat kumulatif (karena ada kata sambung “dan”) sehingga syarat untuk mendeportasi adalah jika orang asing yang berada di wilayah Indonesia melakukan kegiatan:
1. berbahaya; dan 2. patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Jika hanya salah satu kondisi yang terpenuhi, maka alasan yuridisnya tidak terlalu kuat.
Pendeportasian terhadap mereka juga tidak pas jika didasarkan kepada frasa selanjutnya yaitu “….atau tidak menghormati atau tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud dengan praturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun tata urutan peraturan perundang undangan di Indonesia terdiri dari beberapa jenis sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU N0.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden dan 6. Peraturan Daerah Provinsi; 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Hikmah dari kejadian yang viral tersebut antara lain, kiranya kita harus mulai berbenah untuk misalnya pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah tentang kawasan hutan lindung, kawasan tertutup, kawasan suci atau kawasan keramat.
Selanjutnya, setiap ada dugaan pelanggaran atas ketentuan tertulis dimaksud, biarkan pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau penegakan hukum yang diatur dalam perda yaitu Satpol PP dipersilahkan untuk menuntaskan perkaranya sampai benar-benar tuntas.
Jika tidak ada penetapan tertulis atas status suatu kawasan atau tidak ada penanganan perkara oleh instansi di luar imigrasi atas pelanggaran yang bukan pelanggaran keimigrasian, tidak tertutup kemungkian kejadian serupa akan terulang kembali dan imigrasi menjadi sibuk untuk mendeportasi lagi siapapun orang asing itu baik ia turis biasa, investor atau mungkin tamu negara.
Suatu saat, imigrasi juga akan mendeportasi orang asing yang belum jelas pelanggaran yang telah dilakukannya atau belum menjalani proses penyidikan/penegakan hukum sampai tuntas atas dugaan tindak pidananya/pelanggarannya misalnya orang asing yang tertangkap tangan sedang mencopet di pasar, tidak membayar hotel atau melakukan penipuan.
Hikmah bagi imigrasi sendiri, mungkin dapat mempertimbangkan rupa TAK lain (selain deportasi), yang dipilih untuk diterapkan sehingga solusinya agak soft sebagai suatu kondisi win win solution sesuai ayat (2) pasal 75 di atas misalnya pembatasan atau perubahan izin tinggal, larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di wilayah Indonesia atau keharusan untuk bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu di wilayah Indonesia.
Adapun penetapan suatu kawasan yang saya maksud di atas tentu tidak berlaku untuk tempat-tempat yang secara umum telah diketahui banyak orang, diketahui oleh masyarakat umum bahwa suatu kawasan atau bangunan itu sebagai tempat suci seperti tempat ibadah.
Jika pelecehan terjadi terhadap tempat ibadah, menurut hemat saya Polisi sebagai penyidik akan menangani aduan masyarakat sampai tuntas dan setelah itu, imigrasi baru menerapkan TAK yang sesuai dengan perkaranya.
Imigrasi tidak serta merta melakukan tindakan deportasi dan atau penangkalan sebelum ada penuntasan perkara dari aparat penegak hukum atau pihak yang berwenang seperti Satpol PP sebagai PPNS Peraturan Daerah.
Dodi Karnida HA
Kadiv Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulsel 2020-2021I