Jauh sebelum adanya internet, media sosial atau masih terbatasnya siaran televisi swasta, yang ramai pada bulan Dzulhijah atau bulan haji adalah banyaknya jumlah pesta pernikahan warga muslim.
Saya masih ingat ketika sedang libur dari tugas di Bandara Soekarno-Hatta pulang kampung ke Sukabumi, sepanjang jalan dari Ciawi, Cicurug, Parungkuda dan sampai Cibadak, di sebelah kiri dan kanan itu puluhan janur tanda pernikahan, ditancap di sepanjang pinggir jalan.
Lain lagi keramaian yang mendominasi bulan haji akhir-akhir ini. Yaitu berita mirisnya nasib para WNI yang gagal untuk melaksanakan ibadah haji yang waktu dan tempatnya sudah ditentukan sehingga tidak bisa dilaksanakan setiap saat.
Mereka yang gagal ada yang masih di Tanah Air tetapi telah menginap di hotel sekitar Bandara Soekarno-Hatta, ada yang sudah tiba di Arab Saudi tetapi tidak memiliki izin untuk masuk ke wilayah Armina yaitu Arafah (tempat wukuf), Muzdalifah (tempat para jemaah berkumpul sejak sore menjelang mata hari terbenam sampai malam) dan Mina (tempat jamaah tinggal di tenda dan persiapan untuk melempar jumrah).
Dari berbagai pemberitaan, pada tahun 2024 ini, ada 8 orang jamaah yang gagal berangkat padahal telah menginap 4 malam di hotel sekitar Bandara Soekarno-Hatta.
Mereka berasal dari Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat yang ketika tiba waktunya untuk berangkat sebagai jamaah haji khusus dengan biaya Rp200 juta, ternyata pengurusnya tidak bisa dihubungi sehingga mereka kembali pulang kampung dan melaporkannya ke Polda Sulbar, Sabtu (8/6/24).
Peristiwa ini hampir sama kejadiannya yaitu pada awal tahun 1990-an saat saya bertugas di Bandara Soekarno-Hatta.
Ada puluhan jamaah yang menunggu jadwal keberangkatan, terpaksa menginap di sekitar area bandara (Terminal 2D Keberangkatan) dan ketika waktunya sudah tidak mungkin lagi untuk berangkat ke Saudi Arabia, oleh pengurusnya jamaah itu diberangkatkan ke Bangkok naik Thai Airlines dan kembali ke Tanah Air ketika rombongan haji regular sudah mulai tiba kembali.
Kamis (30/5/24) Yusron B. Ambary Konsul Jenderal RI di Jeddah menyampaikan keterangan bahwa sebanyak 24 WNI jemaah calon haji asal Banten telah ditangkap pada Selasa (28/5/24) di Bir Ali Madinah karena visa yang mereka miliki bukan visa haji melainkan visa ziarah.
Ada juga visa haji yang ditunjukkan tetapi visa tersebut tidak tertera pada paspor yang seharusnya.
Setelah diperiksa kejaksaan, 22 orang dibebaskan karena dianggap sebagai korban sedangkan 2 orang penaggung jawabnya ditahan untuk diproses hukum dan akan dikenai denda sebesar Rp215 juta rupiah serta ditangkal selama 10 tahun.
Sabtu (1/6/24) terjadi penangkapan di Madinah atas 37 orang jamaah Makassar gegara menggunakan visa haji palsu.
Mereka terdiri atas 21 laki-laki dan 16 perempuan yang ternyata memakai gelang haji palsu, kartu id palsu dan visa haji palsu.
Satu orang kordinator mereka ada yang sudah ditahan dan satu lagi masih dalam pencarian.
Semakin mendekati waktu wukuf di Arafah pada hari Sabtu (15/6/24) yaitu tanggal 9 Dzulhijjah, pemberitaan tentang penangkapan terhadap para jemaah di Arab Saudi semakin banyak dan tidak terbatas pada para WNI saja.
Penangkapan ini dimaksudkan agar jamaah non visa haji dari manapun mereka berasal, tidak memasuki daerah Armina yang kapasitasnya terbatas yaitu khusus bagi mereka yang telah memiliki visa haji.
Banyaknya para jamaah WNI non visa haji yang ditangkap, menurut penulis adalah karena negara hadir tidak secara kuat, hadir secara lemah di tengah masyarakat.
Sementara travel biro dan masyarakat terlalu semangat untuk melakukan ibadah sehingga mereka berprinsip yang penting sampai terlebih dahulu di Arab Saudi, urusan belakangan.
Selain itu ada masyarakat yang murni tertipu, tergiur iming-iming oleh travel biro yang sering berpekulasi.
Ada juga korban yang nurut saja apa kata biro jasa dan ada juga yang malas bertanya sehingga mereka sesat di jalan.
Fenomena seperti ini sudah menjadi hal rutin walaupun dulu kita memiliki Komisi Haji yang diatur dalam Undang-undang Haji dan sekarang kita memiliki Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR.
Sayangnya respon pemerintah terhadap kejadian yang memprihatinkan ini menurut hemat penulis, kurang gercep, tidak gerak cepat.
Setelah beberapa hari berita tentang kejadian yang memprihatinkan itu, Ahad (9/6/24) di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jedah, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas baru menyampaikan keterangan bahwa Kemenag akan bekerja sama dengan pihak imigrasi untuk mencegah keberangkatan jamaah non visa haji pada musim haji.
Beberapa saat setelah gencarnya pemberitaan ditangkapnya puluhan WNI oleh Satgas Pengawasan Haji Arab Saudi, di berbagai media sosial penulis menyampaikan harapan agar pada hari Senin (3/6/24) Prof. Muhadjir Effendy Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) memimpin rapat kordinasi dengan Kementerian Luar Negeri, Dalam Negeri, Agama, Polri, Kejaksaan dan imigrasi guna membahas fenomena yang terjadi itu.
Namun ternyata harapan penulis itu tidak terwujud sampai akhirnya TimWas Haji DPR dalam siaran persnya Sabtu (15/6/24) meminta agar pada musim haji, pihak imigrasi mencegah para pemegang non visa haji yang akan berangkat ke luar negeri.
Tidak sulit bagi Imigrasi untuk melakukan penundaan keberangkatan terhadap para pemegang non visa haji pada musim haji asal keputusan penundaan keberangkatan itu memiliki dasar hukum yang kuat.
Lagi pula, jik apun terdapat dasar hukum yang kuat, hal tersebut kurang efektif untuk mencegah kejadian serupa.
Untuk mewujudkan tindakan pencegahan yang efektif, hendaknya pencegahan itu diakukan dari hulunya.
Kantor Kemenag sebagai unsur pembina dan pengawas dari travel biro haji dan umroh harus melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pencerahan atau sosialisasi terhadap masyarakat untuk tidak berangka ke Tanah Suci pada musim haji dengan non visa haji harus dilakukan oleh pemerintah daerah, kepolisian, para alim ulama, ustadz ustadzah kondang, tokoh masyarakat, juru penerang, imigrasi, ormas-ormas Islam dan unsur masyarakat lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka mekanisme pencegahan ini harus dikomandani oleh Kemenko PMK yang juga harus mengundang Kemenlu agar penanganan korban di luar negeri dapat dilaksanakan secara baik.
Contoh peran ormas muslim dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat telah dilakukan oleh Muhammadiyyah.
Mereka menyatakan secara resmi bahwa beribadah haji menggunakan non visa haji, maka ibadah hajinya sah tetapi tidak mendapatkan pahala karena dilaksanakan tidak melalui jalan yang telah ditentukan.
Tingginya jumlah manusia yang datang ke Arab Saudi pada musim haji adalah karena travel biro maupun masyarakat mencoba bersepkulasi yang disebabkan oleh antrian waktu keberangkatan yang masih lama sementara kuota terbatas dan akhirnya mereka tidak bersabar.
Terhadap masyarakat, unsur pemerintah harus menyampaikan bahwa mereka para calon jemaah haji harus mengikuti aturan yang telah ditentukan.
Para ustadz, ustadzah dan para alim ulama, kiranya juga gencar menyampaikan bahwa untuk beribadah itu harus sesuai ketentuan pemerintah yang berlaku.
Mereka tokoh agama itu pun harus rajin menyampaikan bahwa untuk meraih pahala ibadah haji dan umroh, ada jalan sederhana, tidak perlu memiliki paspor dan visa seperti tercantum dalam hadist Anas Bin Malik.
“Barang siapa yang melaksanakan sholat subuh berjamaah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan sholat dua rakaat, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh”. Beliau (Nabi Muhammad saw) bersabda, “Pahala yg sempurna, sempurna dan sempurna”.
Dodi Karnida HA
Kadiv Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulsel 2020-2021