Sebagai purnabakti pegawai imigrasi, penulis sering gregetan jika ada berita tentang penegakkan hukum baik dalam rangka penyelidikan atau penyidikan khususnya berskala internasional, tidak muncul berita tentang peran imigrasi.
Ketidakmunculan nama imigrasi itu mungkin karena imigrasi tidak diajak oleh Aparat Penegak Hukum (APH), lupa tidak diajak atau memang tidak perlu diajak.
Padahal jika targetnya berskala internasional, menurut hemat penulis, maka hal ikhwal yang berkaitan dengan pelakunya yaitu orang alias manusia, maka salah satu titik lemahnya ada pada “buku suci” untuk melakukan perjalanan internasional mereka yaitu paspor.
Yang riwayat permohonan, riwayat digital pemegangnya keluar masuk wilayah Indonesia, riwayat manual perjalanan seseorang ke berbagai negara serta pengendalian paspor itu berada dalam kewenangan imigrasi.
Berikut contoh berita tindak pidana berskala internasional yang dilakukan WNI :
1. Desk pemberantasan narkoba yang terdiri atas BNN RI, TNI, Bea Cukai, dan Polri menggagalkan penyelundupan sabu seberat 2 ton menggunakan kapal motor dari Thailand ke perairan Kepulauan Riau diumumkan di Batam Senin, (27/5/25) oleh Kepala BNN Marthinus Hukom.
Salah satu pelaku dicurigai sebagai pimpinan jaringan penyelundupan 2 ton narkoba jenis sabu-sabu itu ialah warga Dukuh Sumber Agung, Desa Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo yaitu Dewi Astutik (DA).
DA lahir 23 Juli 1983 pemegang Paspor RI (foto paspornya tersebar di media sosial), dikeluarkan pada tanggal 18 Juli 2023 dan mungkin berlaku 5 atau 10 tahun.
Rupanya DA ini telah menjadi buronan BNN dan masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Interpol sejak 20 Oktober 2024 dan karena belum tertangkap, maka ia berulah lagi dan dicurigai sebagai bagian dari kelompok Fredy Pratama berstatus WNI juga.
2. Pemberitaan seorang mahasiswi berinisial EW, masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kasus judi online oleh Polda Jawa Barat.
EW diduga mempromosikan situs judi online malalui akun media sosial (medsos) miliknya.
Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Hendra Rochmawan mengatakan, EW, merupakan warga Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
“Dalam surat DPO bernomor DPO/34/V/Res.1.24/2025/Sat Reskrim tersebut, disebutkan yang bersangkutan (EW) diduga menyebarkan konten yang mengandung unsur perjudian melalui media elektronik dan turut mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam aktivitas ilegal tersebut,” kata Kabid Humas, Kamis (22/5/25).
Kombes Hendra menyatakan, kepolisian mengimbau masyarakat yg mengetahui keberadaan EW untuk segera melapor kepada pihak berwajib melalui kantor polisi terdekat atau melalui nomor telepon yang tercantum dalam surat DPO.
Ini berarti bahwa polisi secara aktif (biasa atau luar biasa) melakukan pencarian dan secara pasif menunggu informasi dari masyarakat tetapi tidak nampak adanya informasi telah melakukan kordinasi dengan imigrasi memiliki riwayat penerbitan paspor, memiliki jejak digital keluar masuk wilayah Indonesia maupun riwayat manual kunjungan ke berbagai negara seorang pemegang paspor.
3. Terpidana korupsi kredit macet Bank Mandiri senilai Rp35,9 miliar Nader Taher (69) ternyata sempat mengganti identitasnya sebagai Haji Toni untuk menghindari kejaran hukum.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau Akmal Abbas saat pengungkapan, Jumat, mengungkapkan bahwa Nader telah mengubah identitasnya sejak 2014.
Awalnya, ia mengganti KTP di Kabupaten Cianjur, lalu pada 2018 mendapatkan KTP elektronik dengan nama Haji Toni di Kabupaten Bandung.
Keberadaan Nader Taher akhirnya terendus setelah tim kejaksaan mendapatkan informasi bahwa ia telah kembali ke Indonesia.
Diberitakan sebelumnya, buronan yang sudah dua dekade dalam pelarian itu diamankan tim Kejaksaan Agung dan Kejati Riau di Apartemen Gateway Ciracas, Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/2/25).
Kini, setelah hampir 20 tahun dalam pelarian, Nader Taher alias Haji Toni akhirnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan menjalani hukuman di Lapas Pekanbaru.
Dari pemberitaan para DPO di atas tidak terdapat informasi bahwa pihak kepolisian telah berkoordinasi dengan imigrasi sebagai pihak berwenang menyimpan riwayat permohonan paspor, jejak digital keluar masuk wilayah Indonesia dan jejak manual riwayat perjalanan ke berbagai negara seorang pemegang paspor.
Tidak ada beritanya bahwa buronan itu telah dilakukan pencegahan oleh imigrasi baik sementara atau permanen.
Jika DPO pernah memiliki paspor dan sejak awal penyelidikan atau penyidikan, APH berkoordinasi dengan imigrasi maka dapat dipastikan bahwa ruang gerak DPO tersebut semakin sempit.
Karena jika paspornya sebagai “buku suci” untuk melakukan perjalanan di luar negeri telah dikendalikan oleh APH dan imigrasi sehingga keberadaan pemegang paspor di suatu negara asing itu menjadi tidak sah dan tidak berlaku.
Maka keberadaan mereka itu menjadi ilegal dan berpotensi untuk ditangkap oleh aparat setempat kemudian dideportasi ke Indonesia tanpa harus kita buru ke luar negeri menyerap energi, biaya dan waktu kordinasi yang tidak cepat dan tidak murah.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas penulis mencatat:
1. APH dalam melakukan penyelidikan dan atau penyidikan suatu tindak pidana berskala internasional, tidak secara otomatis melibatkan imigrasi sebagai instansi berwenang untuk menyimpan dan mengendalikan riwayat permohonan paspor, jejak digital seseorang keluar masuk wilayah Indonesia dan jejak manual perjalanan lintas negara seorang pemegang paspor di luar negeri.
2. Imigrasi tidak dilibatkan mungkin karena tidak ada aturan mewajibkan atau tidak adanya petunjuk mengharuskan APH untuk melibatkan imigrasi dan demikian sebaliknya sehingga pihak imigrasi pun bertindak pasif, tidak bertindak aktif atau tidak responsif kecuali ada permohonan tertulis dari APH, walaupun tindak pidana dilakukan buronan itu termasuk Transnational Organized Crime (TOC).
3. Menurut hemat penulis, kondisi di atas mengakibatkan tidak efektif dan tidak efisiennya proses penegakkan hukum dimaksud karena untuk menangkap, melokalisir keberadaan target berskala internasional harus menerbitkan Red Notice atau status DPO tidak dapat dilakukan dalam waktu secepatnya karena harus melibatkan berbagai instansi termasuk lembaga internasional atau lembaga negara lain yang akibatnya buronan itu bertahun-tahun tidak tertangkap dan mungkin sampai ia hilang ditelan bumi.
4. Guna kepentingan perlindungan bagi masyarakat dari ancaman kejahatan apapun khususnya berskala internasional (TOM) seperti peredaran narkoba, industri online scam (judi online, pinjaman online, games online dan penipuan online), Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), terorisme dan lain-lainnya, kiranya Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan atau Menko Bidang Politik dan Keamanan menerbitkan surat edaran ditujukan kepada Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua KPK, untuk menyertakan imigrasi dalam proses penyelidikan dan atau penyidikan atas kejahatan berskala internasional.
Dengan terbitnya surat tersebut, diharapkan terwujud proses penyelidikan dan penyidikanefektif dan efisien dalam mengejar DPO atau upaya penangkapan terhadap buronan sehingga tidak sampai bertahun-tahun seperti pada kasus:
1. Nader Taher (69) Koruptor Rp35,9 miliar dari Bank Mandiri (buronan 20 tahun);
2. HB diduga sebagai pemilik situs judi online Nitro123, menjadi buronan Polisi ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta Jumat, (2/5/25) sesaat tiba dari Kamboja (buronan 3 tahun);
3. Dewi Astutik atau PA yg diduga sebagai gembong penyelundupan narkoba seberat 2 ton seharga Rp2 triliun di Kepulauan Riau, belum diketahui keberadaannya padahal sudah menjadi buronan sejak Oktober 2024.
Semoga harapan penulis ini terwujud sehingga output maupun outcomes dari surat Menko dimaksud dapat menorehkan “tinta emas” Kabinet Merah Putih dalam efisiensi dan efektifitas penegakkan hukum kita. Aamiin.
Dodi Karnida HA
Kadiv Imigrasi Kanwil Kemenkumham Sulsel 2020-2021