Sabtu (7/10/23) tengah hari, saya mendapatkan telepon dari MA seorang WNI yang sekitar satu bulan terdampar di daerah Poipet (wilayah Kamboja yang berbatasan dengan Thailand).
Ia bersengketa dengan atasan kerjanya di suatu lembaga permainan online. Atas bantuan saya, ibunya dan teman-teman saya, Kamis (4/10/23) sekitar pukul.10.00 WIB, MA bersama temannya NN bergerak naik bis menuju KBRI yang berada di Pnom Penh.
Setelah naik bis sekitar 6 jam, mereka tiba di KBRI Pnom Penh pada pukul.18.53 WIB, tetapi hanya dilayani oleh Satpam KBRI yang menyampaikan untuk kembali esok harinya pada jam kerja.
Malam itu, mereka mencari penginapan dekat KBRI dan esoknya melapor secara langsung dengan melampirkan foto paspor (masih berlaku sampai 7/12/25 tetapi ditahan oleh majikannya), KTP DKI, Kartu Keluarga, Akta Lahir dan surat dari ibunya yang semuanya saya siapkan bersama ibunya yang tingggal di Jakarta Barat.
Kamis (4/10/23) mereka melapor secara langsung ke KBRI dan ternyata ada 10 orang WNI lainnya yang memohon bantuan KBRI.
MA yang ketika di Poipet terdampar bersama E dan NN, saat ini tidak bersama E lagi yang sudah mendapatkan pekerjaan baru di Poipet sehingga tidak ikut ke KBRI untuk memohon bantuan pemulangan ke Indonesia.
Saya kenal online dengan MA melalui kawan saya AS yang dulu sama-sama bertugas sebagai ASN.
AS memohon bantuan saya untuk mengusahakan pemulangan MA yang ternyata merupakan teman dari anak AS.
Berbagai upaya telah saya lakukan mulai dari menghubungi ibu MA, membuatkan surat di atas materai yang harus ditandatangani ibunya untuk memohon bantuan kepada dubes.
Surat tersebut sudah saya kirim pada Rabu (4/10/23) ke KBRI bersama foto surat lahir, KK dan KTP DKI MA yang ditembuskan kepada Presiden RI, Menko Polhukam, Menlu, Menkumham dan Plt. Gubernur DKI Jakarta karena korban MA dan NN ialah warga Jakarta.
Minggu (8/10/23) pukul.13.11 WIB, MA mengirim WA bahwa ia untuk kesekian kalinya memohon bantuan saya guna segera dapat kembali ke Tanah Air.
“Pak Dodi tolong bantu saya pak agar bisa cepet pulang dan selesai masalah ini. Saya benar-benar sudah tidak memiliki apa-apa pak. Saya dan orang tua saya sudah pinjam dana sana sini tidak mendapatkan. Tolong bantu saya pak.” Demikian bunyi WA MA kepada saya.
Bantuan uang yang diperlukan untuk makan dan ongkos pulang naik pesawat berdua sekitar Rp7 juta karena tiket Pnom Penh Jakarta sekitar Rp3 juta.
Terhadap permohonan itu saya bersama keluarganya masih berusaha ke sana-sini guna menemukan solusi secepatnya tetapi belum ada hasil sama sekali.
MA sudah sekitar 2,5 tahun bekerja di daerah Poipet perbatasan Thailand dan Kamboja.
Ia bertugas sebagai customer service online dari suatu kelompok pengelola permainan online.
Sebagai CS ia cukup dapat berbahasa Indonesia saja karena customernya memang para WNI juga atau orang yang mengerti bahasa Indonesia.
Adapun NN yg merupakan tetangganya, baru bergabung sekitar 2 bulan saja dan ternyata bersama MA, NN harus menjerit karena terjerat konflik sengketa buruh antara bawahan dan atasan sehingga paspor keduanya dikuasai oleh pihak lain dan mereka tidak bisa bergerak sama sekali.
Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang via KBRI yang akan menyediakan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) RI yang untuk penerbitannya juga mereka harus membayar PNBP (tidak gratis).
Setelah saya berkonsultasi dengan teman-teman yang bertanggung jawab atas masalah pertahanan dan keamanan nasional, ternyata dalam kasus kedua korban yang menjerit itu belum ditemukan atau mungkin tidak ada sama sekali unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Namun demikian di satu sisi saya dan siapapun juga bisa mendapatkan informasi bahwa berita tentang WNI yang bermasalah di Kamboja itu sangat mudah untuk didapatkan.
Bagi saya sendiri, terkait Kamboja bukan hanya berita WNI bermasalah yang bisa saya dapatkan tetapi juga berita keberhasilan WNI bekerja di sana karena saya tahu persis, A yang rumahnya dekat rumah kami, seberang rumah orang tua kami, telah menutup warung kelontong warisan orang tuanya karena tertarik untuk bekerja di Kamboja yang sudah lebih dari satu tahun dijalaninya.
“Gajinya besar”, demikian kata Mang U, tukang becak sekitar rumah A. Perangkat RT di situ juga telah melepaskan rumahnya kepada anak muda yang bekerja di Kamboja.
Cerita terkait WNI di Kamboja ini, merupakan hal yang menarik untuk dianalisa khususnya oleh aparat yang bertanggung jawab dalam hal penegakan hukum, keimigrasian, perlindungan WNI dan instansi terkait lainnya karena dimensinya luas dan locusnya bukan merupakan wilayah NKRI.
Selasa (10/10/23) pagi saya sudah menghubungi MA di Pnom Penh maupun ibunya di Jakarta tetapi telpon saya tidak diangkat.
Dodi Karnida HA
Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulsel 2020-2021