Suku Basemah atau juga disebut Besemah, Pasemah atau Pesemah adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Kota Pagar Alam, Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Lahat dan Kabupaten Muara Enim.
Suku ini secara umum bermukim di sekitar kawasan gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Dempo. Suku Pasemah merupakan salah satu suku bangsa asli yang berasal dari wilayah Sumatera Selatan yang memiliki kerabatan dengan suku Melayu dan Komering yang juga sudah ratusan tahun tinggal di Sumatera Selatan.
Suku Pasemah yang sekarang paling identik adalah wilayah yang termasuk dalam administrasi Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Empat Lawang. Kabupaten Empat Lawang merupakan kabupaten baru pemekaran dari Kabupaten Lahat. Sedangkan Muara Enim yang merupakan suku Basemah adalah daerah sekitar Semendo, kurang lebih 50 km dari kota Muara Enim.
Masyarakat Suku Pasemah yang hidup di sekitar gunung Dempo sebagian besar merupakan petani. Saat ini pun daerah ini masih menjadi sentra produksi kopi di Sumatera Selatan. Sedangkan tanaman lainnya adalah sayuran, seperti kubis, wortel, cabe, sawi, kentang, tomat, daun bawang, terong, seledri, dan lain-lain.
Suku Pasemah, kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi dan budaya yang khas. Masyarakat di tanah Pasemah sejak dulu sudah memiliki tatanan dan aturan masyarakat yang bernama “Lampik Empat, Merdike Due” yakni, “Perwujudan Demokrasi Murni”, yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya oleh semua komponen masyarakat setempat.
Tanjung Sakti Pumu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Kecamatan Tanjung Sakti Pumu berjarak 97 km ke arah barat daya dari pusat Kabupaten Lahat. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Tanjung Sakti yang terbagi menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Tanjung Sakti Pumi dan Kecamatan Tanjung Sakti Pumu.
Kata Pumu sendiri adalah singkatan dari Pasemah Ulu Manna Ulu, sama halnya dengan wilayah Kecamatan Tanjung Sakti Pumi, kata “Pumi” adalah singkatan dari Pasemah Ulu Manna Ilir.
Pasemah Ulu Manna merupakan daerah sindang kemargaan yang terletak di perbatasan Bengkulu Selatan dan Sumatra Selatan. Maka Atribusi Ulu dan Ilir pada dua nama Kecamatan Tanjung Sakti menunjuk letak geografis dari Pasemah Ulu Manna. Besemah atau Pasemah (penamaan suku menurut literatur Belanda dan Inggris) merupakan suku masyarakat dominan yang mendiami Tanjung Sakti.
Suku Besemah termasuk dalam Proto Malayan dengan kebudayaan Melayu. Kecamatan Tanjung Sakti Pumu mempunyai luas wilayah 229,59 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 58,56 jiwa/km². Pusat pemerintahan Kecamatan Tanjung Sakti Pumu berada di Desa Simpang III Pumu.
Kecamatan Tanjung Sakti Pumu terletak di wilayah perbatasan barat Sumatera Selatan dan paling selatan Kabupaten Lahat dengan topografi berupa lembah hingga pegunungan. Kecamatan Tanjung Sakti Pumu berada di kaki Gunung Dempo dan Gunung Dingin bagian selatan.
Sementara di sebelah barat adalah rangkaian Pegunungan Bukit Barisan dengan sejumlah gunung seperti Gunung Payung, Gunung Tunjuk dan Gunung Hitam. Ketinggian wilayah Kecamatan Tanjung Sakti Pumu antara 700 hingga >2.000 meter diatas permukaan air laut.
Sungai besar yang mengalir di Kecamatan Tanjung Sakti Pumu adalah Sungai Penangkulan, Sungai Serai, Sungai Cawang, Sungai Manna, dan Sungai Sukamadu. Kecamatan Tanjung Sakti Pumu yang beriklim tropis dengan dua musim dalam satu tahunnya yaitu musim kemarau dan penghujan, dengan suhu udara pada siang hari berkisar antara 20 – 31 derajat Celcius. Hujan turun hampir sepanjang tahun rata-rata hari hujan adalah 150 – 300 hari dengan curah hujan rata-rata 2.000 – 4.250 mm/tahun.
Kecamatan Tanjung Sakti Pumu dengan Ibukota Kecamatan Desa Simpang III Pumu merupakan Kecamatan yang terpisah dari wilayah Kabupaten Lahat dipisahkan oleh Kota Pagar Alam. Wilayah Tanjung Sakti Pumu secara geografis berbatasan dengan wilayah sebagai berikut: Utara dengan Kabupaten Empat Lawang dan Provinsi Bengkulu, bagian Selatan dengan Provinsi Bengkulu, bagian Timur dengan Kecamatan Tanjung Sakti Pumi, bagian Barat dengan Provinsi Bengkulu. Desa terluas yang ada di Kecamatan Tanjung Sakti Pumu adalah Desa Kembang Ayun seluas 12,67 kilometer persegi dan desa terkecil adalah Desa Genting dengan luas wilayah 3,38 kilometer persegi.
Setiap suku memiliki hunian yang unik dan berbeda menyesuaikan dengan budaya mereka begitu juga dengan Suku Pasemah yang mempunyai rumah tradisional yang disebut dalam bahasa lokal dengan ghumah baghi. Ciri khas ghumah baghi adalah memiliki atap yang runcing mirip seperti tanduk atau membentuk pelana kuda. Namun atap ini tidak begitu runcing jika dibandingkan dengan atap rumah adat Toraja. Atap rumah adat suku Pasemah memanfaatkan bahan-bahan yang disediakan oleh alam seperti ijuk atau pohon aren. Tiang-tiang rumah juga menggunakan bahan ramah lingkungan yaitu kayu dengan rangka atap berbahan bambu.
Keunikan lainnya adalah setiap sudut rangka rumah tidak menggunakan paku melainkan pasak. Bagian dalam ghumah baghi tidak dibuat sekat-sekat kamar melainkan hanyalah ruang yang terbuka luas. Sedangkan untuk bagian depan dibuat lebih tinggi daripada lantai bagian dalam. Anggota keluarga dari garis keturunan laki-laki akan menempati bagian depan sedangkan keturunan wanita akan berada di bagian dalam.
Satu lagi keunikan dari rumah ini adalah tidak memiliki jendela dan hanya terdapat satu buah pintu kayu. Dari kontruksinya ghumah baghi pada bagian tiang terdiri dari satu balok kayu utuh yang tidak ditanam tetapi berdiri pada sebongkah batu, kontruksi ini merupkan kontruksi anti gempa. Ghumah baghi berbentuk rumah panggung dengan 8 tiang sehingga disebut Ghumah baghi ghilapan dan ghumah baghi tatahan karena terdapat pahatan pada bagian dinding dan tiang bagian atas.
Bupati Lahat, Cik Ujang melalui Mario Andramatik, Staf Khusus Bupati Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melakukan pendataan sebaran ghumah baghi di Kecamatan Tanjung Sakti Pumu yang didampingi Herlianto Sapsidi, Resen Ferdinan dan Hengki Pirmansyah.
Tim melakukan kunjungan langsung ke ghumah baghi satu per satu di setiap desa yang tersebar di 7 desa dari total 14 desa yaitu : Gunung Raya, Genting, Suban, Tanjung Alam, Ujung Pulau, Gunung Ayu, dan Kepala Siring.
Dari Desa Simpang III Pumu tim pendataan menuju Desa Gunung Raya dan diterima oleh Kepala Desa Gunung Raya Mitianah. Tim keliling desa dan mengunjungi 7 ghumah baghi, dari ke-7 ghumah baghi tinggal tersisa 5 karena 1 ghumah baghi sudah dipindah ke desa Gunung Merakse dengan menyisakan tiang-tiang dan dibiarkan tergeletak. Satu ghumah baghi lainnya telah roboh sekitar tahun 1997 dan saat ini berdiri rumah baru dengan bahan baku batu bata. Semua ghumah baghi di desa ini merupakan ghumah baghi ghilapan yang tidak mempunyai ukiran atau pahatan. Semua ghumah baghi sudah mengalami renovasi seperti penambahan ruang, membuat jendela dan bagian bawah ghumah sudah berdinding batu bata dan semen.
Dari Desa Gunung Raya tim pendataan menuju Desa Genting. Dari infromasi yang disampaikan oleh Resen bahwa di desa ini terakhir hanya tersisa satu ghumah baghi sekitar 2 tahun lalu dan saat ini ghumah baghi tersebut sudah roboh dan tidak menyisakan bentuk apapun. Tim melanjutkan ke Desa Suban, dari informasi awal di desa ini terdapat 2 ghumah baghi.
Dari rumah Kepala Desa Suban tim berjalan ke rumah Matsin tetapi tim tidak bertemu dengan Matsin hanya bertemu dengan anaknya yang tinggal dekat dengan rumah Matsin. Rumah Matsin merupakan ghumah baghi tatahan dengan pahatan sama seperti yang terdapat di Mulak Ulu, Kota Agung, Pajar Bulan, Jarai dan Kota Pagar Alam.
Ghumah gaghi milik Matsin menjadi ghumah baghi tatahan pertama yang kami temukan. Ghumah baghi sudah terjadi renovasi seperti pembuatan jendela dan penambahan ruang depan. Kondisi ghumah baghi sudah memprihatinkan karena sudah sedikit miring sehingga dipasang penyanggah agar tidak bertambah miring.
Dari ghumah baghi milik Matsin kami terus ke ghumah yang kedua dan terus keliling desa dan ternyata kami bisa melihat 7 Ghumah Baghi. Semua ghumah baghi di desa ini juga mengalami renovasi seperti penambahan ruang depan atau samping, pembuatan jendela dan bagian bawah ditambah ruang dengan dinding batu bata dan semen.
Jadi di 3 desa yang sudah kami kunjungi terdapat 12 ghumah baghi, hal ini sangat menggembirakan dan memberi semangat untuk kami melihat desa lainnya dan menemukan ghumah baghi yang lebih banyak. Ketika kami akan meninggalkan Desa Suban kami bertemu dengan Kepala Desa Batu Rancing Hansri dan selanjutnya kami singgah di rumahnya di Desa Batu Rancing.
Di Desa Batu Rancing kami betemu dengan Kepala Desa Tanjung Alam dan menurutnya di Desa Tanjung Alam terdapat 3 ghumah baghi. Kami bercerita sembari menikmati kopi robusta khas Tanjung Sakti Pumu yang ditanam diperbukitan diketinggian di atas 7.500 mdpl. Selanjutnya kami melihat 2 ghumah baghi di Desa Batu Rancing, kedua ghumah baghi merupakan jenis ghilapan yang sudah mengalami renovasi.
Kemudian kami melanjutkan pendataan di Desa Tanjung Alam, dari info awal di Desa Tanjung Alam terdapat 3 ghumah baghi tetapi setelah kami masuk desa dan melihat satu per satu rumah, kami melihat 14 ghumah baghi dan yang menarik ada satu ghumah baghi tatahan dengan dinding terdapat 3 pahatan mandalike, pada umumnya selama ini ghumah baghi tatahan hanya mempunyai satu pahatan mandalike di bagian tengah dinding.
Dan lebih menariknya ke-3 mandalike mempunyai motif yang berbeda. Semua ghumah baghi di desa ini juga sudah mengalami renovasi seperti halnya pada ghumah baghi di desa sebelumnya yang kami kunjungi.
Dengan melintasi jembatan Sungai Cawang kami melanjutkan perjalanan ke Desa Ujung Pulau. Di desa ini kami temukan 2 ghumah baghi. Ghumah pertama berada di tepi sebelah kanan jalan, ghumah sudah ada penambahan teras pada bagian depan dan dinding papan pada bagian bawah. Pada ghumah kedua ada penambahan teras bagian bawah dan dinding kayu juga pembuatan jendela, bagian atap seng masih utuh berbentuk pelana kuda dengan sedikit runcing pada bagian ujungnya.
Di Desa Gunung Ayu kami langsung melihat ghumah baghi yang sedang dibongkar bagian atapnya dan diganti dengan bentuk limas. Bambu-bambu rangka atap dan ikatan dari rotan dan ijuk masih kami ditemukan di bawah ghumah baghi. Sedih sekali melihat kejadian ini akan tetapi kami tak dapat berbuat banyak.
Kemudian kami pergi ke belakang ghumah baghi yang sedang dibongkar atapnya karena kami melihat 2 ghumah baghi dan ternyata di bagian dalam desa ini masih ada 4 ghumah baghi lagi, satu ghumah baghi sudah berubah total dan hampir tidak terlihat bentuk ghumah baghi hanya terlihat bagian bawahya saja.
Sedang 3 ghumah baghi lainnya juga sudah mengalami renovasi. Total ghumah baghi yang dapat kami identifikasi di Desa Gunung Ayu yang berada di ketinggian 758 mdpl ada 6 ghumah baghi.
Waktu telah menunjukkan pukul 11.15 wib ketika kami memasuki Desa Kepala Siring yang merupakan desa ke-7 yang kami kunjungi hari ini. Di sebelah kiri jalan kami melihat satu ghumah baghi bentuk ghilapan dengan penambahan teras pada bagian depan dan anak tangga dengan bahan batu dan semen.
Disebelahnya terdapat ghumah baghi berbentuk tatahan yang telah direnovasi dengan pembuatan beberapa jendela dan bagian atap sudah berubah bentuk. Lalu kami belok ke kanan di simpang dekat rumah Kepala Desa Kepala Sirih, Faizal.
Di jalan ini tepat ditikungan terdapat satu ghumah baghi tatahan yang masih cukup bagus walau pada bagian atap sedikit ada kerusakan. Dan berikutnya ghumah baghi ke-4 di Desa Kepala Siring berada sekitar 100 meter dari jalan di mana kami berada sehingga kami tidak dapat melihat dengan jelas kondisi ghumah baghi ini.
Kami putuskan untuk kembali ke Desa Simpang III Pumu karena waktu sudah memasuki waktu zhuhur. Desa Kepala Siring langsung berbatas dengan Desa Simpang III Pumu, jadi kami tadi menempuh jalan melingkar untuk melihat semua desa di Kecamatan Tanjung Sakti Pumu. Kami sangat bersyukur didampingi oleh dua orang warga Tanjung Sakti Pumu, Resen dan Hengki yang sangat paham dengan kondisi daerahnya.
Suatu pengalaman baru yang sangat menyenangkan dan berkesan melihat peninggalan mahakarya leluhur yang sangat tinggi nilai-nilai seninya. Ratusan tahun silam leluhur Tanjung Sakti Pumu telah membuat karya yang membanggakan terlihat dari 40 ghumah baghi yang saat ini masih dapat dilihat keagungan dan kemegahannya. Semoga dari ghumah baghi yang masih berdiri dapat dipertahankan bahkan dapat dilestarikan dan dikembalikan lagi ke bentuk aslinya.
Dengan tinggalan ghumah baghi yang begitu banyak merupakan aset wisata budaya yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata budaya ditambah dengan potensi lainnya maka dapat dijadikan desa wisata yang akan meningkatkan perekonomian masyarakat, pendapatan asli desa dan pendapatan asli daerah. (mario andramartik)