Senin (10/6/24) Channel News Asia memberitakan bahwa presiden terpilih Prabowo sedang mempersiapkan untuk membawa 1.000 orang Pengungsi Palestina dari Gaza untuk melanjutkan pendidikannya di Jawa Timur.
Rencana Prabowo ini merupakan respon atas usulan Bakal Calon Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dalam suatu pertemuan di kediaman Prabowo, Jalan. Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (7/6/24).
Saya tidak setuju dengan istilah pengungsi ini karena kita tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi Jenewa 1951.
Dan jika istilah pengungsi berkaitan dengan orang asing yang akan masuk ke Indonesia, pengurusannya itu harus melibatkan UNHCR yang kadang memiliki kepentingan tersendiri yang bisa saja mengganggu kedaulatan kita.
Jadi istilah yang tepat untuk kita gunakan adalah warga negara Palestina korban perang di Gaza, bukan pengungsi dari Gaza.
Selanjutnya Prabowo menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia siap mengevakuasi 1.000 warga Palestina ke Indonesia untuk diberikan perawatan kesehatan.
“Kita siap mengevakuasi 1.000 pasien dirawat di Indonesia dan begitu sembuh akan dikembalikan ke Gaza setelah situasi normal,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (13/7/24).
Kesiapan ini juga disampaikannya pada Konferensi Tingkat tinggi Tanggap Darurat Kemanusiaan untuk Gaza di Amman Yordania pada Selasa (11/6/24).
Prabowo memastikan juga bahwa Indonesia siap mengirim tenaga kesehatan.
Dari kedua pernyataan tersebut, saya menganggap bahwa WN Palestina yang akan diundang untuk melanjutkan sekolah pesantren di Jawa Timur dan dievakuasi guna perawatan Kesehatan di Indonesia, jumlahnya sebanyak 2.000 orang.
Oleh karena menyangkut kehadiran orang asing dalam jumlah banyak, tentu pihak imigrasi sebagai penjaga pintu gerbang negara harus mempersiapkan diri dengan baik apalagi mereka yang akan datang ini orang asing korban perang dari suatu wilayah nun jauh di sana.
Dalam keadaan normal pun, WN Palestina itu mungkin akan sulit untuk mendapatkan paspor apalagi dalam keadaan proses genosida seperti terjadi akhir-akhir ini.
Bagi imigrasi manapun termasuk imigrasi Indonesia, pemilikan atas paspor atau dokumen perjalan yang sah dan masih berlaku adalah hal yang mutlak sebagai persyaratan guna mendapatkan visa dan izin tinggal di Indonesia, baik itu untuk kepentingan pendidikan atau perawatan kesehatan.
Dan oleh karena kedua kegiatan itu pasti dilakukan dalam jangka lama, mereka setidaknya harus memiliki Izin Tinggal Terbatas 1 tahun yang dapat diperpanjang sebanyak 2 kali yang masing-masing berlaku 1 tahun.
Apabila melihat kondisi di Palestina khususnya Gaza atau Rafah belakangan ini, dapat dipastikan bahwa mereka akan sulit untuk mendapatkan dokumen perjalanan sebagaimana dipersyaratkan oleh ketentuan imigrasi.
Jadi tidak cukup hanya memiliki dokumen identitas seadanya atau malah tanpa identitas sama sekali.
Namun demikian, bisa saja atas dasar alasan kemanusiaan atau keadaan darurat, pemerintah kita membuat aturan khusus yg menjadi payung hukum pelayanan dan pengawasan keimigrasian bagi warga Palestina dimaksud khususnya yang tidak memiliki dokumen perjalanan.
Aturan tersebut hendaknya dimuat dalam bentuk Peraturan Presiden yang isinya tidak hanya menyangkut materi pengaturan keimigrasian tetapi juga menyangkut mekanisme pelayanan kesehatan, pendidikan, penganggaran (yang di dalamnya terdapat unsur biaya imigrasi, biaya pendidikan, perawatan kesehatan lain-lain).
Jika benar rencana mulia ini akan direalisasikan, kita berharap bahwa Kemenko Polhukam dalam waktu dekat ini sudah membahas bersama kementerian atau lembaga negara lainnya, rencana tindak lanjut dan penyusunan draf Peraturan Presiden yamg saya sampaikan di atas.
Dodi Karnida HA
Kadiv Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulsel Tahun 2020-2021